Rabu, 14 Januari 2015

Sejarah Perkembangan Bahasa Indonesia

1) Perkembangan Bahasa Indonesia Sebelum Merdeka
Pada dasarnya Bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu. Pada zaman Sriwijaya, bahasa Melayu di pakai sebagai bahasa penghubung antar suku di Nusantara dan sebagai bahasa yang di gunakan dalam perdagangan antara pedagang dari dalam Nusantara dan dari luar Nusantara.

Perkembangan dan pertumbuhan Bahasa Melayu tampak lebih jelas dari berbagai peninggalan-peninggalan misalnya:
  • Tulisan yang terdapat pada batu Nisan di Minye Tujoh, Aceh pada tahun 1380
  • Prasasti Kedukan Bukit, di Palembang pada tahun 683.
  • Prasasti Talang Tuo, di Palembang pada Tahun 684.
  • Prasasti Kota Kapur, di Bangka Barat, pada Tahun 686.
  • Prasati Karang Brahi Bangko, Merangi, Jambi, pada Tahun 688.

Dan pada saat itu Bahasa Melayu telah berfungsi sebagai:
  1. Bahasa kebudayaan yaitu bahasa buku-buku yang berisia aturan-aturan hidup dan sastra.
  2. Bahasa perhubungan (Lingua Franca) antar suku di indonesia
  3. Bahasa perdagangan baik bagi suku yang ada di Indonesia maupun pedagang yang berasal dari luar indonesia.
  4. Bahasa resmi kerajaan.

Bahasa melayu menyebar ke pelosok Nusantara bersamaan dengan menyebarnya agama Islam di wilayah Nusantara, serta makin berkembang dan bertambah kokoh keberadaannya karena bahasa Melayu mudah di terima oleh masyarakat Nusantara sebagai bahasa perhubungan antar pulau, antar suku, antar pedagang, antar bangsa dan antar kerajaan. Perkembangan bahasa Melayu di wilayah Nusantara mempengaruhi dan mendorong tumbuhnya rasa persaudaraan dan rasa persatuan bangsa Indonesia, oleh karena itu para pemuda indonesia yang tergabung dalam perkumpulan pergerakan secara sadar mengangkat bahasa Melayu menjadi bahasa indonesia menjadi bahasa persatuan untuk seluruh bangsa indonesia. (Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928).

2) Perkembangan Bahasa Indonesia Sesudah Merdeka
Bahasa Indonesia lahir pada tanggal 28 Oktober 1928. Pada saat itu, para pemuda dari berbagai pelosok Nusantara berkumpul dalam rapat, para pemuda berikrar:
  1. Kami Putra dan Putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, Tanah Air Indonesia.
  2. Kami Putra dan Putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, Bangsa Indonesia.
  3. Kami Putra dan Putri Indonesia mengaku menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia.

Ikrar para pemuda ini di kenal dengan nama “Sumpah Pemuda”. Unsur yang ketiga dari “Sumpah Pemuda” merupakan pernyataan tekad bahwa bahasa indonesia merupakan bahasa persatuan bangsa indonesia. Pada tahun 1928 bahasa Indonesia di kokohkan kedudukannya sebagai bahasa nasional. Bahasa Indonesia di nyatakan kedudukannya sebagai bahasa negara pada tanggal 18 Agustus 1945, karena pada saat itu Undang-Undang Dasar 1945 di sahkan sebagai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Di dalam UUD 1945 di sebutkan bahwa “Bahasa Negara Adalah Bahasa Indonesia,(pasal 36). Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, telah mengukuhkan kedudukan dan fungsi bahasa indonesia secara konstitusional sebagai bahasa negara. Kini bahasa indonesia di pakai oleh berbagai lapisan masyarakat indonesia.

Peresmian Nama Bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi Republik Indonesia dan bahas persatuan bangsa indonesia. Bahasa indonesia di resmikan penggunaannya setelah Proklamasi Kemerekaan Indonesia, tepatnya sehari sesudahnya, bersamaan dengan mulai berlakunya konstitusi. Di Timor Leste, Bahasa Indonesia berposisi sebagi bahasa kerja. Dari sudut pandang Linguistik, bahasa indonesia adalah salah satu dari banyak ragam bahasa Melayu. Dasar yang dipakai adalah bahasa Melayu-Riau dari abad ke-19.

Dalam perkembangannya ia mengalami perubahan akibat penggunaannya sebagi bahasa kerja di lingkungan administrasi kolonial dan berbagai proses pembakuan sejak awal abad ke-20. Penamaan “Bahasa Indonesia” di awali sejak di canangkannya Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, untuk menghindari kesan “Imperialisme bahasa” apabila nama bahasa Melayu tetap di gunakan.

Proses ini menyebabkan berbedanya Bahasa indonesia saat ini dari varian bahasa Melayu yang di gunakan di Riau maupun Semenanjung Malaya. Hingga saat ini, bahasa indonesia merupakan bahasa yang hidup, yang terus menghasilkan kata-kata baru, baik melalui penciptaan maupun penyerapan dari bahasa daerah dan bahasa asing. Meskipun di pahami dan di tuturkan oleh lebih dari 90% warga indonesia, bahasa indonesia bukanlah bahasa ibu bagi kebanyakan penuturnya. Sebagian besar warga indonesia menggunakan salah satu dari 748 bahasa yang ada di indonesia sebagai bahasa Ibu. Penutur Bahasa indonesia kerap kali menggunakan versi sehari-hari (kolokial) atau mencampur adukkan dengan dialek Melayu lainnya atau bahasa Ibunya.

Meskipun demikian , bahasa indonesia di gunakan di gunakan sangat luas di perguruan-perguruan. Di media massa, sastra, perangkat lunak, surat-menyurat resmi, dan berbagai forum publik lainnya, sehingga dapatlah dikatakan bahwa bahasa indonesia di gunakan oleh semua warga indonesia. Bahasa Melayu dipakai dimana-mana diwilayah nusantara serta makin berkembang dengan dan bertambah kukuh keberadaannya. Bahasa Melayu yang dipakai didaerah-daerah diwilayah nusantara dalam pertumbuhan dipengaruhi oleh corak budaya daerah. Bahasa Melayu menyerap kosa kata dari berbagai bahasa, terutama dari bahasa sanskerta, bahasa Persia, bahasa Arab, dan bahasa-bahasa Eropa.

Bahasa Melayu pun dalam perkembangannya muncul dalam berbagai variasi dan dialek. Perkembangan bahasa Melayu diwilayah nusantara mempengaruhi dan mendorong tumbuhnya rasa persaudaraan dan persatuan bangsa Indonesia. Komikasi rasa persaudaraan dan persatuan bangsa Indonesia. Komunikasi antar perkumpulan yang bangkit pada masa itu menggunakan bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia, yang menjadi bahasa persatuan untuk seluruh bangsa Indonesia dalam sumpah pemuda 28 Oktober 1928. Untuk memperoleh bahasa nasionalnya, Bangsa Indonesia harus berjuang dalam waktu yang cukup panjang dan penuh dengan tantangan.

Perjuagan demikian harus dilakukan karena adanya kesadaran bahwa di samping fungsinya sebagai alat komunikasi tunggal, bahasa nasional sebagai salah satu ciri cultural, yang ke dalam menunjukkan sesatuan dan keluar menyatakan perbedaan dengan bangsa lain.

Ada empat faktor yang menyebabkan Bahasa melayu diangkat menjadi bahasa Indonesia, yaitu:
  1. Bahasa melayu adalah merupakan Lingua Franca di Indonesia, bahasa perhubungan dan bahasa perdagangan.
  2. Sistem bahasa melayu sederhana, mudah di pelajari karena dalam bahasa melayu tidak di kenal tingkatan bahasa (bahasa kasar dan bahasa halus).
  3. Suku Jawa, Suku Sunda, dan Suku2 yang lainnya dengan sukarela menerima bahasa melayu menjadi bahasa indonesia sebagai bahasa nasional.
  4. Bahasa melayu mempunyai kesanggupan untuk di pakai sebagai bahasa kebudayaan dalam arti yang luas.

SEJARAH, FUNGSI DAN KEDUDUKAN BAHASA INDONESIA


A.    Sejarah Bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia adalah varian bahasa Melayu, sebuah bahasa Austronesia dari cabang bahasa-bahasa Sunda-Sulawesi, yang digunakan sebagai lingua franca di Nusantara sejak abad-abad awal penanggalan modern. Aksara pertama dalam bahasa Melayu atau Jawi ditemukan di pesisir tenggara Pulau Sumatera, mengindikasikan bahwa bahasa ini menyebar ke berbagai tempat di Nusantara dari wilayah ini, berkat penggunaannya oleh Kerajaan Sriwijaya yang menguasai jalur perdagangan. Istilah Melayu atau sebutan bagi wilayahnya sebagai Malaya sendiri berasal dari Kerajaan Malayu yang bertempat di Batang Hari, Jambi, dimana diketahui bahasa Melayu yang digunakan di Jambi menggunakan dialek "o" sedangkan dikemudian hari bahasa dan dialek Melayu berkembang secara luas dan menjadi beragam. Pemerintah kolonial Hindia-Belanda menyadari bahwa bahasa Melayu dapat dipakai untuk membantu administrasi bagi kalangan pegawai pribumi karena penguasaan bahasa Belanda untuk para pegawai pribumi dinilai lemah. Pada awal abad ke-20 perpecahan dalam bentuk baku tulisan bahasa Melayu mulai terlihat.
Pada tahun 1901, Indonesia sebagai Hindia-Belanda mengadopsi ejaan Van Ophuijsen dan pada tahun 1904 Persekutuan Tanah Melayu (kelak menjadi bagian dari Malaysia) di bawah Inggris mengadopsi ejaan Wilkinson. Ejaan Van Ophuysen diawali dari penyusunan Kitab Logat Melayu (dimulai tahun 1896) van Ophuijsen, dibantu oleh Nawawi Soetan Ma’moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim. Kemudian pada tahun 1908 Pemerintah Hindia-Belanda (VOC) mendirikan sebuah badan penerbit buku-buku bacaan yang diberi nama Commissie voor de Volkslectuur (Taman Bacaan Rakyat). Intervensi pemerintah semakin kuat dengan dibentuknya Commissie voor de Volkslectuur ("Komisi Bacaan Rakyat" - KBR) pada tahun 1908, yang kemudian pada tahun 1917 ia diubah menjadi Balai Pustaka. Balai itu menerbitkan buku-buku novel seperti Siti Nurbaya dan Salah Asuhan, buku-buku penuntun bercocok tanam, penuntun memelihara kesehatan, yang tidak sedikit membantu penyebaran bahasa Melayu di kalangan masyarakat luas.
Bahasa Indonesia secara resmi diakui sebagai "Bahasa Persatuan Bangsa" pada saat Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928. Penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional atas usulan Muhammad Yamin, seorang politikus, sastrawan, dan ahli sejarah. Dalam pidatonya pada Kongres Nasional kedua di Jakarta, Yamin mengatakan,
"Jika mengacu pada masa depan bahasa-bahasa yang ada di Indonesia dan kesusastraannya, hanya ada dua bahasa yang bisa diharapkan menjadi bahasa persatuan yaitu bahasa Jawa dan Melayu. Tapi dari dua bahasa itu, bahasa Melayulah yang lambat laun akan menjadi bahasa pergaulan atau bahasa persatuan."
Selanjutnya perkembangan bahasa dan kesusastraan Indonesia banyak dipengaruhi oleh sastrawan Minangkabau, seperti Marah Rusli, Abdul Muis, Nur Sutan Iskandar, Sutan Takdir Alisyahbana, Hamka, Roestam Effendi, Idrus, dan Chairil Anwar. Sastrawan tersebut banyak mengisi dan menambah perbendaharaan kata, sintaksis, maupun morfologi bahasa Indonesia.
Pada tahun 2008 dicanangkan sebagai Tahun Bahasa 2008. Oleh karena itu, sepanjang tahun 2008 telah diadakan kegiatan kebahasaan dan kesastraan. Sebagai puncak dari seluruh kegiatan kebahasaan dan kesastraan serta peringatan 80 tahun Sumpah Pemuda, diadakan Kongres IX Bahasa Indonesia pada tanggal 28 Oktober-1 November 2008 di Jakarta. Kongres tersebut akan membahas lima hal utama, yakni bahasa Indonesia, bahasa daerah, penggunaan bahasa asing, pengajaran bahasa dan sastra, serta bahasa media massa. Kongres bahasa ini berskala internasional dengan menghadirkan para pembicara dari dalam dan luar negeri. Para pakar bahasa dan sastra yang selama ini telah melakukan penelitian dan mengembangkan bahasa Indonesia di luar negeri sudah sepantasnya diberi kesempatan untuk memaparkan pandangannya dalam kongres  ini.
B.     Peristiwa Penting dalam Perkembangan Bahasa Indonesia
§   Pada tahun 1908 Pemerintah Hindia Belanda mendirikan Commissie voor de Volkslectuur melalui Surat Ketetapan Gubernemen tanggal 14 September 1908 yang bertugas mengumpulkan dan membukukan cerita-cerita rakyat atau dongeng-dongeng yang tersebar di kalangan rakyat, serta menerbitkannya dalam bahasa Melayu setelah diubah dan disempurnakan. Kemudian pada tahun 1917 diubah menjadi Balai Pustaka.
§   Tanggal 16 Juni 1927 Jahja Datoek Kajo menggunakan bahasa Indonesia dalam pidatonya. Hal ini untuk pertamakalinya dalam sidang Volksraad, seseorang berpidato menggunakan bahasa Indonesia.
§    Tanggal 28 Oktober 1928 secara resmi Muhammad Yamin mengusulkan agar bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan Indonesia.
§    Tahun 1933 terbit majalah Pujangga Baru yang diasuh oleh Sutan Takdir Alisyahbana, Amir Hamzah, dan Armijn Pane. Pengasuh majalah ini adalah sastrawan yang banyak memberi sumbangan terhadap perkembangan bahasa dan sastra Indonesia. Pada masa Pujangga Baru ini bahasa yang digunakan untuk menulis karya sastra adalah bahasa Indonesia yang dipergunakan oleh masyarakat dan tidak lagi dengan batasan-batasan yang pernah dilakukan oleh Balai Pustaka.
§  Tahun 1938, dalam rangka memperingati sepuluh tahun Sumpah Pemuda, diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia I di Solo, Jawa Tengah. Kongres ini dihadiri oleh bahasawan dan budayawan terkemuka pada saat itu, seperti Prof. Dr. Hoesein Djajadiningrat, Prof. Dr. Poerbatjaraka, dan Ki Hajar Dewantara. Dalam kongres tersebut dihasilkan beberapa keputusan yang sangat besar artinya bagi pertumbuhan dan perkembangan bahasa Indonesia. Keputusan tersebut, antara lain: mengganti Ejaan van Ophuysen, mendirikan Institut Bahasa Indonesia, dan menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dalam Badan Perwakilan.
§  Tahun 1942-1945 (masa pendudukan Jepang), Jepang melarang pemakaian bahasa Belanda yang dianggapnya sebagai bahasa musuh. Penguasa Jepang terpaksa menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi untuk kepentingan penyelenggaraan administrasi pemerintahan dan sebagai bahasa pengantar di lembaga pendidikan, sebab bahasa Jepang belum banyak dimengerti oleh bangsa Indonesia. Hal yang demikian menyebabkan bahasa Indonesia mempunyai peran yang semakin penting.
§  18 Agustus 1945 bahasa Indonesia dinyatakan secara resmi sebagai bahasa negara sesuai dengan bunyi UUD 1945, Bab XV pasal 36: Bahasa negara adalah bahasa Indonesia.
§   19 Maret 1947 (SK No. 264/Bhg. A/47) Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan Mr. Soewandi meresmikan Ejaan Republik sebagai penyempurnaan atas ejaan sebelumnya. Ejaan Republik ini juga dikenal dengan sebutan Ejaan Soewandi.
§   Tahun 1948 terbentuk sebuah lembaga yang menangani pembinaan bahasa dengan nama Balai Bahasa. Lembaga ini, pada tahun 1968, diubah namanya menjadi Lembaga Bahasa Nasional dan pada tahun 1972 diubah menjadi Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa yang selanjutnya lebih dikenal dengan sebutan Pusat Bahasa.
§     28 Oktober s.d. 1 November 1954 terselenggara Kongres Bahasa Indonesia II di Medan, Sumatera Utara. Kongres ini terselenggara atas prakarsa Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan, Mr. Mohammad Yamin.
§    Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 57 tahun 1972 diresmikan ejaan baru yang berlaku mulai 17 Agustus 1972, yang dinamakan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) dan Tap.MPR No. 2/1972.
§     10 s.d. 14 25 s.d. 28 Februari 1975 di Jakarta diselenggarakan Seminar Politik Bahasa Indonesia. Tahun 1978, bulan November, di Jakarta diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia III. Tanggal 21 s.d. 26 November 1983 berlangsung Kongres Bahasa Indonesia IV di Jakarta. Tanggal 27 Oktober s.d. 3 November 1988 berlangsung Kongres Bahasa Indonesia V di Jakarta. Tanggal 28 Oktober – 2 November 1993 berlangsung Kongres Bahasa Indonesia VI di Jakarta.
§    Tanggal 28 Oktober s.d 2 November 1978 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia III di Jakarta. Kongres yang diadakan dalam rangka memperingati Sumpah Pemuda yang ke-50 ini selain memperlihatkan kemajuan, pertumbuhan, dan perkembangan bahasa Indonesia sejak tahun 1928, juga berusaha memantapkan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia.
§    Tanggal 21-26 November 1983 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia IV di Jakarta. Kongres ini diselenggarakan dalam rangka memperingati hari Sumpah Pemuda yang ke-55. Dalam putusannya disebutkan bahwa pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia harus lebih ditingkatkan sehingga amanat yang tercantum di dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara, yang mewajibkan kepada semua warga negara Indonesia untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar, dapat tercapai semaksimal mungkin.
§    Tanggal 28 Oktober s.d 3 November 1988 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia V di Jakarta. Kongres ini dihadiri oleh kira-kira tujuh ratus pakar bahasa Indonesia dari seluruh Indonesia dan peserta tamu dari negara sahabat seperti Brunei Darussalam, Malaysia, Singapura, Belanda, Jerman, dan Australia. Kongres itu ditandatangani dengan dipersembahkannya karya besar Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa kepada pencinta bahasa di Nusantara, yakni Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia.
§     Tanggal 28 Oktober s.d 2 November 1993 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia VI di Jakarta. Pesertanya sebanyak 770 pakar bahasa dari Indonesia dan 53 peserta tamu dari mancanegara meliputi Australia, Brunei Darussalam, Jerman, Hongkong, India, Italia, Jepang, Rusia, Singapura, Korea Selatan, dan Amerika Serikat. Kongres mengusulkan agar Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa ditingkatkan statusnya menjadi Lembaga Bahasa Indonesia, serta mengusulkan disusunnya Undang-Undang Bahasa Indonesia.
§    Tanggal 26-30 Oktober 1998 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia VII di Hotel Indonesia, Jakarta. Kongres itu mengusulkan dibentuknya Badan Pertimbangan Bahasa.
C.    Beberapa Fungsi dalam Bahasa Indonesia
1.      Fungsi Bahasa Indonesia Baku :
a.       Sebagai pemersatu : dalam hubungan sosial antar manusia
b.      Sebagai penanda kepribadian : mengungkapkan perasaan & jati diri
c.       Sebagai penambah wibawa : menjaga komunikasi yang santun
d.      Sebagai kerangka acuan : dengan tindak tutur yang terkontrol
2.      Secara umum sebagai alat komunikasi lisan maupun tulis.
Menurut Santoso, dkk. (2004) bahwa bahasa sebagai alat komunikasi memiliki fungsi sebagai berikut:
a.       Fungsi informasi : mengungkapkan perasaan
b.      Fungsi ekspresi diri : perlakuan terhadap antar anggota masyarakat
c.       Fungsi adaptasi dan integrasi : berhubungan dengan sosial
d.      Fungsi kontrol social : mengatur tingkah laku
3.      Menurut Hallyday (1992) Fungsi bahasa sebagai alat komunikasi untuk keperluan:
a.       Fungsi instrumental : untuk memperoleh sesuatu
b.      Fungsi regulatoris : untuk mengendalikan prilaku orang lain
c.       Fungsi intraksional : untuk berinteraksi dengan orang lain
d.      Fungsi personal : untuk berinteraksi dengan orang lain
e.      Fungsi heuristik : untuk belajar dan menemukan sesuatu
f.        Fungsi imajinatif : untuk menciptakan dunia imajinasi
g.       Fungsi representasional : untuk menyampaikan informasi
D.    Kedudukan Bahasa Indonesia
1.      Sebagai Bahasa Nasional
Kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional diperoleh sejak awal kelahirannya, yaitu tanggal 28 Oktober 1928 dalam Sumpah Pemuda. Bahasa Indonesia dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional sekaligus merupakan bahasa persatuan. Adapun dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional , bahasa Indonesia mempunyai fungsi sebagai berikut. Lambang jati diri (identitas). Lambang kebanggaan bangsa. Alat pemersatu berbagai masyarakat yang mempunyai latar belakang etnis dan sosial-budaya, serta bahasa daerah yang berbeda. Alat penghubung antarbudaya dan antardaerah
2.      Sebagai Bahasa Resmi/Negara
Kedudukan bahasa Indonesia yang kedua adalah sebagai bahasa resmi/negara; kedudukan ini mempunyai dasar yuridis konstitusional, yakni Bab XV pasal 36 UUD 1945. Dalam kedudukannya sebagai bahasa resmi/negara, bahasa Indonesia berfungsi sebagai berikut. Bahasa resmi negara . Bahasa pengantar resmi di lembaga-lembaga pendidikan. Bahasa resmi dalam perhubungan tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan serta pemerintahan. Bahasa resmi dalam pengembangan kebudayaan dan pemanfaatan ilmu dan teknologi.

Sekilas Tentang Sejarah Bahasa Indonesia

Bahasa Indonesia lahir pada tanggal 28 Oktober 1928. pada saat itu, para pemuda dari berbagai pelosok Nusantara berkumpul dalam kerapatan Pemuda dan berikrar (1) bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia, (2) berbangsa yang satu, bangsa Indonesia, dan (3) menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Ikrar para pemuda ini dikenal dengan nama Sumpah Pemuda.
Unsur yang ketiga dari Sumpah Pemuda merupakan pernyataan tekad bahwa bahasa Indonesia merupakan bahasa persatuan bangsa <?xml:namespace prefix = st1 ns = "urn:schemas-microsoft-com:office:smarttags" />Indonesia. Pada tahun 1928 itulah bahasa Indonesia dikukuhkan kedudukannya sebagai bahasa nasional.
Bahasa Indonesia dinyatakan kedudukannya sebagai bahasa negara pada tanggal 18 Agustus 1945 karena pada saat itu Undang-Undang Dasar 1945 disahkan sebagai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa Bahasa negara ialah bahasa Indonesia (Bab XV, Pasal 36).
Keputusan Kongres Bahasa Indonesia II tahun 1954 di Medan, antara lain, menyatakan bahwa bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu. Bahasa Indonesia tumbuh dan berkembang dari bahasa Melayu yang sejak zaman dulu sudah dipergunakan sebagai bahasa perhubungan (lingua franca) bukan hanya di Kepulauan Nusantara, melainkan juga hampir di seluruh Asia Tenggara.
Bahasa Melayu mulai dipakai di kawasan Asia Tenggara sejak abad ke-7. Bukti yang menyatakan itu ialah dengan ditemukannya prasasti di Kedukan Bukit berangka tahun 683 M (Palembang), Talang Tuwo berangka tahun 684 M (Palembang), Kota Kapur berangka tahun 686 M (Bangka Barat), dan Karang Brahi berangka tahun 688 M (Jambi). Prasasti itu bertuliskan huruf Pranagari berbahasa Melayu Kuna. Bahasa Melayu Kuna itu tidak hanya dipakai pada zaman Sriwijaya karena di Jawa Tengah (Gandasuli) juga ditemukan prasasti berangka tahun 832 M dan di Bogor ditemukan prasasti berangka tahun 942 M yang juga menggunakan bahasa Melayu Kuna.
Pada zaman Sriwijaya, bahasa Melayu dipakai sebagai bahasa kebudayaan, yaitu bahasa buku pelajaran agama Budha. Bahasa Melayu juga dipakai sebagai bahasa perhubungan antarsuku di Nusantara dan sebagai bahasa perdagangan, baik sebagai bahasa antarsuku di Nusantara maupun sebagai bahasa yang digunakan terhadap para pedagang yang datang dari luar Nusantara.
Informasi dari seorang ahli sejarah Cina, I-Tsing, yang belajar agama Budha di Sriwijaya, antara lain, menyatakan bahwa di Sriwijaya ada bahasa yang bernama Koen-louen (I-Tsing:63,159), Kou-luen (I-Tsing:183), K’ouen-louen (Ferrand, 1919), Kw’enlun (Alisjahbana, 1971:1089). Kun’lun (Parnikel, 1977:91), K’un-lun (Prentice, 1078:19), yang berdampingan dengan Sanskerta. Yang dimaksud Koen-luen adalah bahasa perhubungan (lingua franca) di Kepulauan Nusantara, yaitu bahasa Melayu.
Perkembangan dan pertumbuhan bahasa Melayu tampak makin jelas dari peninggalan kerajaan Islam, baik yang berupa batu bertulis, seperti tulisan pada batu nisan di Minye Tujoh, Aceh, berangka tahun 1380 M, maupun hasil susastra (abad ke-16 dan ke-17), seperti Syair Hamzah Fansuri, Hikayat Raja-Raja Pasai, Sejarah Melayu, Tajussalatin, dan Bustanussalatin.
Bahasa Melayu menyebar ke pelosok Nusantara bersamaan dengan menyebarnya agama Islam di wilayah Nusantara. Bahasa Melayu mudah diterima oleh masyarakat Nusantara sebagai bahasa perhubungan antarpulau, antarsuku, antarpedagang, antarbangsa, dan antarkerajaan karena bahasa Melayu tidak mengenal tingkat tutur.
Bahasa Melayu dipakai di mana-mana di wilayah Nusantara serta makin berkembang dan bertambah kukuh keberadaannya. Bahasa Melayu yang dipakai di daerah di wilayah Nusantara dalam pertumbuhannya dipengaruhi oleh corak budaya daerah. Bahasa Melayu menyerap kosakata dari berbagai bahasa, terutama dari bahasa Sanskerta, bahasa Persia, bahasa Arab, dan bahasa-bahasa Eropa. Bahasa Melayu pun dalam perkembangannya muncul dalam berbagai variasi dan dialek.
Perkembangan bahasa Melayu di wilayah Nusantara mempengaruhi dan mendorong tumbuhnya rasa persaudaraan dan persatuan bangsa Indonesia. Komunikasi antarperkumpulan yang bangkit pada masa itu menggunakan bahasa Melayu. Para pemuda Indonesia yang tergabung dalam perkumpulan pergerakan secara sadar mengangkat bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia, yang menjadi bahasa persatuan untuk seluruh bangsa Indonesia (Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928).
Kebangkitan nasional telah mendorong perkembangan bahasa Indonesia dengan pesat. Peranan kegiatan politik, perdagangan, persuratkabaran, dan majalah sangat besar dalam memodernkan bahasa Indonesia.
Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1945, telah mengukuhkan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia secara konstitusional sebagai bahasa negara. Kini bahasa Indonesia dipakai oleh berbagai lapisan masyarakat Indonesia, baik di tingkat pusat maupun daerah.

Pentingnya Pendidikan Pancasila di Perguruan tinggi

PENTINGNYA PENDIDIKAN PANCASILA PADA PERGURUAN TINGGI

Pancasila adalah dasar Negara Republik Indonesia yang diresmikan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945. Dalam sejarah eksistensi Pancasila sebagai dasar filsafat Negara Republik Indonesia mengalami berbagai macam interpretasi dan manipulasi politik sesuai dengan kepentingan penguasa demi kokoh dan tegaknya kekuasaan yang berlindung dibalik legitimasi ideologi Negara Pancasila.
Dampak yang cukup serius dalam manipulasi Pancasila  oleh para penguasa pada masa lampau , sekarang ini banyak kalangan elit politik serta sebagian masyarakat berangapan bahwa pancasila merupakan label politik  Orde Baru. Pandangan yang sinis sera upaya melemahkan peranan ideologi Pancasila pada era reformasi sekarang ini akan sangat berakibat fatal yaitu melemahnya kepercayaan rakyat terhadap ideologi Negara yang mengancam persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia yang yang telah lama dibina, dipelihara serta didambakan bangsa Indonesia sejak dahulu.
Bukti yang secara objektif dapat disaksikan adalah hasil reformasi yang telah empat tahun berjalan , tapi belum juga menunjukkan hasil yang dapat dinikmati oleh rakyat, nasionalisme bangsa rapuh, martabat bangsa Indonesia dipandang rendah di masyarakat internasional.
Sekarang ini banyak para tokoh politik kurang memahami filsafat hidup serta pandangan hidup bangsa kita  yaitu pancasila, namun bersikap seakan – akan memahaminya  namun mereka salah dalam menerapkannya.
Oleh karena itu kiranya merupakan tugas berat kalangan intelektual untuk mengembalikan kepercayaan rakyat yang keliru tersebut kearah cita-cita bersama bagi bangsa Indonesia dalam hidup bernegara.




A.              Landasan Pendidikan Pancasila
1.   Landasan Historis
Secara historis nilai-nilai yang terkandung dalam setiap sila Pancasila sebelum dirumuskan dan disahkan menjadi dasar Negara Indonesia secara objektif histories telah dimiliki oleh bangsa Indonesia sendiri. Asal mula nilai-nilai Pancasila digali dari bangsa Indonesia sendiri atau bangsa Indonesia sebagai kausa materialis pancasila.
2.  Landasan Kultural
Nilai yang terkandungn dalam sila-sila pacasila bukanlah merupakan suatu hasil konseptual seseorang saja melainkan hasil karya besar bangsa Indonesia sendiri, yang diangkat dari nilai cultural yang dimiliki oleh bangsa Indonesia sendiri melalui proses refleksi filosofis para pendiri negara.
3.   Landasan Yuridis
Pendidikan Pancasila di pendidikan tinggi didasari oleh Undang-undang No. 20 Tahun 2003  tentang system pendidikan nasional. Mata kuliah Pancasila adalah mata kuliah yang memdidik warga negara akan dasar filsafat negaranya.
4.  Landasan Filofis
Pancasila adalah dasar filsafat negara dan pandangan filosofis bangsa Indonesia. Secara filosofis negara berpersatuan dan berkerakyatan, konsekuensinya rakyat adalah merupakan asal mula kekuasaan negara.










B.      Tujuan Pendidikan Pancasila

Dalam UU No 2 Tahun 1989 tentang sistem Pendidikan Nasional dan juga termuat dalam SK Dirjen Dikti No 38/DIKTI/Kep/2002, dijelaskan bahwa tujuan Pendidikan Pancasila mengarahkan perhatian pada moral yang diharapkan terwujud dalam kehidupan yaitu perilaku yang mencerminkan iman dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang terdiri atas berbagai golongan agama dan budaya.  Tujuan pendidikan diartikan sebagai seperangkat tindakan intelektual penuh tanggung jawab pada kompetensi mahasiswa pada bidang profesi masing-masing. Kompetensi pendidikan Pancasila adalah seperangkat tindakan intelektual yang berlandaskan nilai-nilai Pancasila.
Pendidikan Pancasila bertujuan untuk menghasilkan peserta didik yang beragama dengan sikab dan perilaku yang memiliki tanggung jawab sesuai dengan hati nuraninya, mampu mengenali masalah hidup dan cara pemecahannya, mengenali perubahan dan perkembangan ilmu pendididian, memiliki rasa persatuan yang tinggi. Melalui  pendidikan Pancasila, warga nerara Republik Indosesia diharapkan mempu memahami, menganalisis, dan mengimplememasikan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari dalam menjawab masalah yang dihadapi oleh bangsa Indonesia secara berkesinambungan dan konsistan berdasarkan cita-cita dan tujuan bangsa Indonesia.

a.      Pembahasan Pancasila secara ilmiah
1.      Berobjek
Semua ilmu pengetahuan itu harus memiliki objek. ‘objek forma’ Pancasila adalah suatu sudut pandang tertentu dalam pembahasan Pancasila, atau dari sudut pandang apa Pancasila itu dibahas. Pancasila dapat dibahas dari sudut pandang ‘moral’ (moral pancasila), ‘ekonomi’ (ekonomi Pancasila), ‘pers’ (pers Pancasila), ‘hukum dan kenegaraan’ (pancasila yuridis kenegaraan), ‘filsafat’ (filsafat Pancasila).




‘Objek materia’ Pancasila adalah suatu objek yang merupakan sasaran pembahasan dan pengkajian Pancasila baik yang bersifat empiris maupun nonempiris. Pancasila merupakan hasil budaya bangsa Indonesia sebagai kausa materialis Pancasila atau sebagai asal mula Pancasila. Objek material pembahasan pancasila adalah bangsa Indonesia dengan segala aspek kebudayaannya, dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.  Dapat berupa hasil budaya bangsa Indonesia yang berupa lembaran sejarah, bukti-bukti sejarah, berbeda-beda sejarah, benda-benda budaya, lembaran negara, lembaran hukum maupun naskah-naskah kenegaraan lainnya, maupun adat-istiadat bangsa Indonesia sendiri.  Objek yang bersifat nonempiris meliputinilai budaya, moral, serta nilai religius yang tercermin dalam kepribadian, sifart, karakter dan pola-pola budaya dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
    1. Bermetoode
Metode adalah seperangkat cara atau system pendekatan dalam rangka pembahasan masalah guna mendapatkan suatu kebenaran yang bersifat objektif. Salah satu metode yang digunakan untuk pembahasan Pancasila adalah metode ‘analitico syntetic’ taitu suatu perpaduan metode analisis dan sintesis. Objek Pancasila banyak berkaitan dengan hasil-hasil budaya dan objek sejarah oleh karena itulazim digunakan metode ‘hermeneutika’, yaitu suatu system untuk menemukan makna dibalik objek, demikian juga metode ‘koherensi historis’, serta metode ‘pemahaman, penafsiran, dan interpretasi’,metode-metode tersebut dadasarkan oleh hukum logika dan suatu penarikan kesimpulan.
    1. Bersistem
Dalam suatu pengetahuan ilmiah harus mempunyai hubungan (interelasi), maupun saling ketergantungan (interdependensi). Pancasila sendiri adalah suatu kesatuan dan keutuhan ‘majemuk tunggal’yaitu kelima sila itu baik rumusannya, inti dan isi dari sila-sila Pancasila itu merupakan suatu kesatuan dan kebulatan.


    1. Bersifat Universal
Universal artinya kebenarannya tidak terbatas oleh waktu, ruang, keadaan, situasi, kondisi, maupun jumlah tertentu. Perkataan inti sari, essensi atau makna yang terdalam dari sila-sila Pancasila hakikatnya adalah bersifat universal.
Tingkatan Pengetehuan Ilmiah
1.      Pengetahuan Deskriptif
Kajian Pancasila secara deskriptif ini antara lain berkaitan dengan kajian sejarah perumusan Pancasila, nilai-nilai Pancasila serta kajian tentang kedudukan dan fungsi pancasila (Pancasila sebagai pandangan hidup, dasar, ideologi  bangsa Indonesia).
2.      Pengetahuan Kausal
Pengetahuan kausal yaitu suatu pengetahuan yang memberikan jawaban tentang sebab dan akibat. Pancasila meliputi empat kausal yaitu kausa mateerilais(), kausa formalis
(), kausa effisien() dan kausa finalis.

1.      Pengrtian Pancasila secara Etimologis
Secara etimologis istilah pancasila berasal dari Sansekerta dari India (bahasa kasta Brahmana), bahasa rakyat biasa adalah bahasa Prakerta. Dalam bahasa Jawa diartikan ‘susila’ yang memiliki hubunga moralitas. Secara etimologis kata ‘Pancasila’ yang dimaksudkan ialah ‘dasar yang memiliki lima unsur’ atau lima aturan tingkah laku yang penting. Ajaran Pancasiila menurut Budha adalah merupakan lima aturan (larangan) atau five moral principles, yang harus ditaati dan dilaksanakan oleh para penganutnya.






3.            Pengertian Pancasial secara Historis
Perumusan Pancasila diawali ketika sidang BPUPKI pertama dr Radjiman Widyodiningrat, mengajukan suatu masalah yaitu tentang suatu rumusan dasar negara Indonesia yang akan dibentuk. Pada tanggal 1 Juni 1945 dalam sidang BPUPKI Ir. Soekarno berpidato secara lisan mengenai calon rumusan dasar negara Indonesia dengan istilah Pancasila, yang artinya lima dasar. Yang pad akhirnya diproklamirkan pada tanggal 17 agustus 1945 dan disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945.
Sejak saat itulah perkataan pancsila menjadi bahasa Indonesia yang merupakan istilah umum.
a.             Mr. Muhammad Yamin (29 Mei 1945)
Mr. Muhammad Yamin mendapat kesempatan yang pertama untuk mengemukakan pemikirannya tentang dasar negara di hadapan sidang lengkap badan Penyidik pada tanggal 29 Mei 1945 pada sedang BPUPKI.yang berisikan lima dasar yaitu Peri Kebangsaan, Peri Kemanusiaan, Peri ketuhanan, Peri Kerakyatan, Kesejahteraan Rakyat.
b.            Ir. Soekarno (1 Juni 1945)
Didepan sidang badan penyidik pada tangal 1 Juni 1945 yang rumusannya adalah Nasionalisme atau kebangsaan Indonesia, internasinalisme atau perikemanusiaan, Mufakat atau Demokrasi, kesejahteraan social.
c.             Piagam Jakarta (22 Juni 1945)
Sembilan tokoh yang dikenal dengan panitia sembilan yang telah mengadakan sidang pada tanggal 22 Juni 1945 yang berhasil menyusun sebuah naskah piagam yang dikenal dengan Piagam jakarta yang didalamnya memuat Pancasila.
4.            Pengertian Pancasila secara terminologis
Pancasila berhasil diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945yang telah berhasil melahirkan negara Republik Indonesia, dan berhasil disahkan pada tanggal 18 Agutus 1945 dengan UUD 1945.

a.             Dalam konstitusi RIS (Republik  Indonesia Serikat) 29 Desember 1949 – 17 Agustus 1950
1.            Ketuhanan yang Maha Esa
2.            Peri Kemanusiaan
3.            Kebangsaan
4.            Kerakyatan
5.            Keadilan Sosial
b.            Dalam UUD(Undang-Undang Dasar Sementara 1950), 17 Agustus1950-5 Juni 1959
1.            Ketuhanan Yang Maha Esa
2.            Peri Kemanusiaan
3.            Kebangsaan
4.            Kerakyatan
5.            keadilan social
c.      Rumusan Pancasial di kalangan masyarakat
1.            ketuhanan Yang Maha Esa
2.            Perikemanusiaan
3.            Kebangsaan
4.            kedaulatan Rakyat
5.            Keadilan Sosial

Dari bermacam-macam rumusan Pancasila tersebut diatas yang sah dan benar secara konstitusional adalah rumusan Panxasila sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Hal ini diperkuat dengan ketetapan NO.XX/MPRS/1966, dan Inpres No. 12 tanggal 13 April 1968 yang menegaskan bahwa pengucapan, penulisan dan rumusan Pancasila Dasar Negara Republik Indonesia yang sah dan benar adalah sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945

Selasa, 13 Januari 2015


Teori Sastra dan Pengertiannya Serta macam-macamnya


Apakah Sastra itu? Pertanyaan ini tidak mudah dijawab. Setiap jawaban yang diberikan tidak akan menimbulkan kepuasan penanya. Namun demikian, jika seseorang ditanya tentang apakah ia pernah membaca karya sastra. Jawabannya, “ya, pernah atau belum”. Atau, jika seseorang ditanya apakah ia menyukai sastra, dengan segera pula timbul jawabannya, “ya” atau “tidak”, sesuai dengan pengalaman keseharian hidupnya bergaul dengan sastra. Ini berarti, secara konseptual yang ditanya tidak dapat menjelaskan tentang “apa itu sastra”, tetapi dalam keseharian ia mengenal “sastra sebagai suatu objek yang dihadapinya.
Dalam kehidupan keseharian pula, pada umumnya orang menyukai sastra. Kata-kata mutiara, ungkapan-ungkapan yang bersifat persuasif yang merupakan salah satu ciri khas keindahan bahasa sastra sering kali digunakan orang dalam situasi berkomunikasi. Kenyataan ini menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan orang ke arah bersastra.
Untuk memahami dan menikmati karya sastra diperlukan pemahaman tentang teori sastra. Teori sastra menjelaskan kepada kita tentang konsep sastra sebagai salah satu disiplin ilmu humaniora yang akan mengantarkan kita ke arah pemahaman dan penikmatan fenomena yang terkandung di dalamnya. Dengan mempelajari teori sastra, kita akan memahami fenomena kehidupan manusia yang tertuang di dalam teori sastra.
Sebaliknya juga, dengan memahami fenomena kehidupan manusia dalam teori sastra kita akan memahami pula teori sastra.
Melalui modul ini, secara umum diharapkan Anda dapat memahami hakikat sastra dengan ruang lingkupnya sebagai bekal Anda dalam mempelajari apresiasi dan kajian sastra. Untuk mencapai tujuan tersebut, di dalamnya disajikan urutan materi berupa:
1. Ruang Lingkup Ilmu Sastra,
2. Pengertian Sastra,
3. Jenis Karya Sastra,
4. Struktur Karya Sastra,
5. Puisi,
6. Prosa,
7. Drama,
8. Pendekatan Pengkajian Sastra, serta
9. Aliran dalam Karya Sastra.
MODUL 1: LINGKUP ILMU SASTRA: TEORI SASTRA, SEJARAH SASTRA, DAN
KRITIK SASTRA, SERTA HUBUNGAN ANTARA KETIGANYA
Kegiatan Belajar 1
Ruang Lingkup Ilmu Sastra
Ilmu sastra sudah merupakan ilmu yang cukup tua usianya. Ilmu ini sudah berawal pada abad ke-3 SM, yaitu pada saat Aristoteles (384-322 SM) menulis bukunya yang berjudul Poetica yang memuat tentang teori drama tragedi. Istilah poetica sebagai teori ilmu sastra, lambat laun digunakan dengan beberapa istilah lain oleh para teoretikus sastra seperti The Study of Literatur, oleh W.H. Hudson, Theory of Literature Rene Wellek dan Austin Warren, Literary Scholarship Andre Lafavere, serta Literary
Knowledge (ilmu sastra) oleh A. Teeuw.
Ilmu sastra meliputi ilmu teori sastra, kritik sastra, dan sejarah sastra. Ketiga disiplin ilmu tersebut saling terkait dalam pengkajian karya sastra.
Dalam perkembangan ilmu sastra, pernah timbul teori yang memisahkan antara ketiga disiplin ilmu tersebut. Khususnya bagi sejarah sastra dikatakan bahwa pengkajian sejarah sastra bersifat objektif sedangkan kritik sastra bersifat subjektif. Di samping itu, pengkajian sejarah sastra menggunakan pendekatan kesewaktuan, sejarah sastra hanya dapat didekati dengan penilaian atau kriteria yang ada pada zaman itu. Bahkan dikatakan tidak terdapat kesinambungan karya sastra suatu periode dengan periode berikutnya karena dia mewakili masa tertentu. Walaupun teori ini mendapat kritikan yang cukup kuat dari teoretikus sejarah sastra, namun pendekatan ini sempat berkembang dari Jerman ke Inggris dan Amerika. Namun demikian, dalam praktiknya, pada waktu seseorang melakukan pengkajian karya sastra, antara ketiga disiplin ilmu tersebut saling terkait.
Kegiatan Belajar 2
Pengertian Teori Sastra, Kritik Sastra, dan Sejarah Sastra

Teori sastra ialah cabang ilmu sastra yang mempelajari tentang prinsip-prinsip, hukum, kategori, kriteria karya sastra yang membedakannya dengan yang bukan sastra. Secara umum yang dimaksud dengan teori adalah suatu sistem ilmiah atau pengetahuan sistematik yang menerapkan pola pengaturan hubungan antara gejalagejala yang diamati. Teori berisi konsep/ uraian tentang hukum-hukum umum suatu objek ilmu pengetahuan dari suatu titik pandang tertentu.
Suatu teori dapat dideduksi secara logis dan dicek kebenarannya (diverifikasi) atau dibantah kesahihannya pada objek atau gejala-gejala yang diamati tersebut.
Kritik sastra juga bagian dari ilmu sastra. Istilah lain yang digunakan para pengkaji sastra ialah telaah sastra, kajian sastra, analisis sastra, dan penelitian sastra. Untuk membuat suatu kritik yang baik, diperlukan kemampuan mengapresiasi sastra, pengalaman yang banyak dalam menelaah, menganalisis, mengulas karya sastra, penguasaan, dan pengalaman yang cukup dalam kehidupan yang bersifat nonliterer, serta tentunya penguasaan tentang teori sastra.
Sejarah sastra bagian dari ilmu sastra yang mempelajari perkembangan sastra dari waktu ke waktu. Di dalamnya dipelajari ciri-ciri karya sastra pada masa tertentu, para sastrawan yang mengisi arena sastra, puncak-puncak karya sastra yang menghiasi dunia sastra, serta peristiwa-peristiwa yang terjadi di seputar masalah sastra. Sebagai suatu kegiatan keilmuan sastra, seorang sejarawan sastra harus mendokumentasikan karya sastra berdasarkan ciri, klasifikasi, gaya, gejala-gejala yang ada, pengaruh yang melatarbelakanginya, karakteristik isi dan tematik.
Kegiatan Belajar 3
Hubungan Teori Sastra dengan Kritik Sastra dan Sejarah Sastra
Pada hakikatnya, teori sastra membahas secara rinci aspek-aspek yang terdapat di dalam karya sastra, baik konvensi bahasa yang meliputi makna, gaya, struktur, pilihan kata, maupun konvensi sastra yang meliputi tema, tokoh, penokohan, alur, latar, dan lainnya yang membangun keutuhan sebuah karya sastra. Di sisi lain, kritik sastra merupakan ilmu sastra yang mengkaji, menelaah, mengulas, memberi pertimbangan, serta memberikan penilaian tentang keunggulan dan kelemahan atau kekurangan karya
sastra. Sasaran kerja kritikus sastra adalah penulis karya sastra dan sekaligus pembaca karya sastra. Untuk memberikan pertimbangan atas karya sastra kritikus sastra bekerja sesuai dengan konvensi bahasa dan konvensi sastra yang melingkupi karya sastra.
Demikian juga terjadi hubungan antara teori sastra dengan sejarah sastra. Sejarah sastra adalah bagian dari ilmu sastra yang mempelajari perkembangan sastra dari waktu ke waktu, periode ke periode sebagai bagian dari pemahaman terhadap budaya bangsa.
Perkembangan sejarah sastra suatu bangsa, suatu daerah, suatu kebudayaan, diperoleh dari penelitian karya sastra yang dihasilkan para peneliti sastra yang menunjukkan terjadinya perbedaan-perbedaan atau persamaan-persamaan karya sastra pada periode-periode tertentu.
Secara keseluruhan dalam pengkajian karya sastra, antara teori sastra, sejarah sastra dan kritik sastra terjalin keterkaitan.
DAFTAR PUSTAKA
Arya, Putu. (1983). Apresiasi Puisi dan Prosa. Ende Flores: Nusa Indah.
Effendi. S. (1982). Bimbingan Apresiasi Puisi. Jakarta: Tangga Mustika Alam.
Fananie, Zainuddin. (1982). Telaah Sastra. Surakarta: Muhamadiyah University Press.
Luxemburg, et.al. (1982). Pengantar Ilmu Sastra. Terjemahan Dick Hartoko. Jakarta: Gramedia.
Mido, Frans. (1982). Cerita Rekaan dan Seluk Beluknya. Ende, Flores: Nusa Indah 1994.
Semi Atar M. (1992). Anatomi Sastra. Bandung: Rosda Karya.
Sudjiman, Panuti. (1992). Memahami Cerita Rekaan. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Suyitno. Sastra. (1986). Tata Nilai dan Eksegesis. Yogyakarta: Hanindita.
Tarigan Guntur H. (1986). Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa.
Tjahjono Libertus, T. (1986). Sastra Indonesia: Pengantar Teori dan Apresiasi. Ende, Flores: Nusa Indah.
Waluyo, Herman. (1986). Pengkajian Prosa Fiksi. Surakarta: UNS.
Wellek & Warren A. (1986). Teori Kesusastraan (Diindonesiakan Melami Budianta).
MODUL 2:
HAKIKAT SASTRA SERTA TEKS DAN KONTEKS
Kegiatan Belajar 1
Hakikat Sastra
Pengertian tentang sastra sangat beragam. Berbagai kalangan mendefinisikan pengertian tersebut menurut versi pemahaman mereka masing-masing. Menurut A. Teeuw, sastra dideskripsikan sebagai segala sesuatu yang tertulis; pemakaian bahasa dalam bentuk tulis. Sementara itu, Jacob Sumardjo dan Saini K.M. mendefnisikan sastra dengan 5 buah pengertian, dan dari ke-5 pengertian tersebut dibatasi menjadi sebuah definisi. Sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, semangat, dan keyakinan dalam suatu bentuk gambaran konkret yang membangkitkan pesona dengan alat bahasa. Secara lebih rinci lagi, Faruk mengemukakan bahwa pada mulanya pengertian sastra amat luas, yakni mencakup segala macam hasil aktivitas bahasa atau tulis-menulis. Seiring dengan meluasnya
kebiasaan membaca dan menulis, pengertian tersebut menyempit dan didefinisikan sebagai segala hasil aktivitas bahasa yang bersifat imajinatif, baik dalam kehidupan yang tergambar di dalamnya, maupun dalam hal bahasa yang digunakan untuk menggambarkan kehidupan itu.
Untuk mempelajari sastra lebih dalam lagi, setidaknya terdapat 5 karakteristik sastra yang mesti dipahami.
Pertama, pemahaman bahwa sastra memiliki tafsiran mimesis. Artinya, sastra yang diciptakan harus mencerminkan kenyataan. Kalau pun belum, karya sastra yang diciptakan dituntut untuk mendekati kenyataan.
Kedua, manfaat sastra. Mempelajari sastra mau tidak mau harus mengetahui apa manfaat sastra bagi para penikmatnya. Dengan mengetahui manfaat yang ada, paling tidak kita mampu memberikan kesan bahwa sastra yang diciptakan berguna untuk kemaslahatan manusia.
Ketiga, dalam sastra harus disepakati adanya unsur fiksionalitas. Unsur fiksionalitas sendiri merupakan cerminan kenyataan, merupakan unsur realitas yang tidak ‘terkesan’ dibuat-buat.
Keempat, pemahaman bahwa karya sastra merupakan sebuah karya seni. Dengan adanya karakteristik sebagai karya seni ini, pada akhirnya kita dapat membedakan mana karya yang termasuk sastra dan bukan sastra.
Kelima, setelah empat karakteristik ini kita pahami, pada akhirnya harus bermuara pada kenyataan bahwa sastra merupakan bagian dari masyarakat. Hal ini mengindikasikan bahwa sastra yang ditulis pada kurun waktu tertentu memiliki tanda-tanda, yang kurang lebih sama, dengan norma, adat, atau kebiasaan yang muncul berbarengan dengan hadirnya sebuah karya sastra.
Kegiatan Belajar 2
Teks dan Konteks
Teks adalah ungkapan bahasa yang menurut isi, sintaksis, dan pragmatik merupakan sebuah kesatuan, sedangkan konteks adalah fungsi yang diacu oleh teks. Baik teks maupun konteks, keduanya senantiasa hadir secara bersama dan tidak dapat dipisahkan.
Terdapat enam faktor yang menentukan sebuah teks. Faktor tersebut selanjutnya disebut sebagai faktor-faktor yang berperan dalam tindak komunikasi. Keenam faktor tersebut adalah: (1) pemancar, (2) penerima, (3) pesan (teks itu sendiri), (4) kenyataan atau konteks yang diacu, (5) kode, dan (6) saluran. Sementara itu, terdapat empat jenis teks, yakni: (1) teks acuan, (2) teks ekspresif, (3) teks persuasif, dan (4) teks-teks mengenai teks. Teks acuan dibedakan lagi menjadi tiga, yakni: (1) teks informatif, (2) teks diakursif, dan (3) teks instruktif.
Pada akhirnya, semua pembahasan mengenai teks harus bermuara pada bagaimana cara menilai teks-teks sastra. Memang, ilmu sastra tidak memberikan penilaian pada teks, tidak menghakimi baik-buruknya teks, tetapi ia bersama para ahli estetika dan juga kritikus sastra, mempelajari fakta dan relasi-relasi atau instrumen-instrumen yang diungkapkan dalam sebuah penilaian.
DAFTAR PUSTAKA
Alha Pangeran. (1998). BMP Pendidikan Pancasila. Jakarta: Penerbit Karunika.
Depdiknas.(2001). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Depdiknas. (2000). Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Hartoko, Dick. (1986). Pengantar Ilmu Sastra (Terjemahan). Jakarta: Gramedia.
Semi, M. Atar. (1988). Anatomi Sastra. Padang: Angkasa Raya.
Sumardjo, Jakob dan Saini, K.M. (1991). Apresiasi Kesusatraan. Jakarta: Gramedia.
Tarigan, Henry Guntur. (1986). Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa.
Teeuw, A. (1987). Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
Tohari, Ahmad. (1991). Ronggeng Dukuh Paruk. Jakarta: Gramedia.
—————–(1994). Bekibar Merah. Jakarta: Gramedia.
——————(1992). Senyum Karyamin (Kumpulan Cerpen). Jakarta: Gramedia.
Wellek, Rene dan Austin Warren. (1989). Dasar-dasar Teori Sastra. Jakarta.
MODUL 3: JENIS-JENIS (GENRE) SASTRA
Kegiatan Belajar 1
Sastra Imajinatif
Sastra imajinatif adalah sastra yang berupaya untuk menerangkan, menjelaskan, memahami, membuka pandangan baru, dan memberikan makna realitas kehidupan agar manusia lebih mengerti dan bersikap yang semestinya terhadap realitas kehidupan. Dengan kata lain, sastra imajinatif berupaya menyempurnakan realitas kehidupan walaupun sebenarnya fakta atau realitas kehidupan sehari-hari tidak begitu penting dalam sastra imajinatif.
Jenis-jenis tersebut antara lain puisi, fiksi atau prosa naratif, dan drama. Puisi dapat dikelompokkan menjadi tiga, yakni puisi epik, puisi lirik, dan puisi dramatik. Fiksi atau prosa naratif terbagi atas tiga genre, yakni novel atau roman, cerita pendek (cerpen), dan novelet (novel “pendek”). Drama adalah karya sastra yang mengungkapkan cerita melalui dialog-dialog para tokohnya.
Pada akhirnya, semua pembahasan mengenai sastra imajinatif ini harus bermuara pada bagaimana cara memahami ketiga jenis sastra imajinatif tersebut secara komprehensif. Tanpa adanya pemahaman ini, apa yang dipelajari dalam hakikat dan jenis sastra imajinatif ini hanya sekadar hiasan ilmu yang akan cepat pudar.
Kegiatan Belajar 2
Sastra Non-imajinatif

Sastra non-imajinatif memiliki beberapa ciri yang mudah membedakannya dengan sastra imajinatif. Setidaknya terdapat dua ciri yang berkenaan dengan sastra tersebut.
Pertama, dalam karya sastra tersebut unsur faktualnya lebih menonjol daripada khayalinya. Kedua, bahasa yang digunakan cenderung denotatif dan kalaupun muncul konotatif, kekonotatifan tersebut amat bergantung pada gaya penulisan yang dimiliki pengarang. Persamaannya, baik sastra imajinatif maupun non-imajinatif, keduanya sama-sama memenuhi estetika seni (unity = keutuhan, balance = keseimbangan, harmony = keselarasan, dan right emphasis = pusat penekanan suatu unsur). Sastra non-imajinatif itu sendiri merupakan sastra yang lebih menonjolkan unsur kefaktualan daripada daya khayalnya dan ditopang dengan penggunaan bahasa yang cenderung denotatif. Dalam praktiknya jenis sastra non-imajinatif ini terdiri atas karya-karya yang berbentuk esai, kritik, biografi, autobiografi, memoar, catatan harian, dan surat-surat.
DAFTAR PUSTAKA
Depdiknas. (2001). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Depdiknas. (2000). Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Hartoko, Dick. (1986). Pengantar Ilmu Sastra. (Terjemahan). Jakarta: Gramedia.
Rosidi, Ajip. (1977). Laut Biru Langit Biru. Jakarta: Pustaka.
Sumarjo, Jakob dan Saini, K. M. (1991). Apresiasi Kesustraan. Jakarta: Gramedia.
Tarigan, Henri Guntur. (1986). Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa.
Teeuw, A. (1987). Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
Wellek, Rene dan Austin Warren. (1989). Dasar-dasar Teori Sastra. Jakarta: Gramedia.
MODUL 4: STRUKTUR PEMBANGUNAN KARYA SASTRA
Kegiatan Belajar 1
Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik Puisi
Sebuah karya sastra mengandung unsur intrinsik serta unsur ekstrinsik. Keterikatan yang erat antarunsur tersebut dinamakan struktur pembangun karya sastra. Unsur intrinsik ialah unsur yang secara langsung membangun cerita dari dalam karya itu sendiri, sedangkan unsur ekstrinsik ialah unsur yang turut membangun cerita dari luar karya sastra.
Unsur intrinsik yang terdapat dalam puisi, prosa, dan drama memiliki perbedaan, sesuai dengan ciri dan hakikat dari ketiga genre tersebut. Namun unsur ekstrinsik pada semua jenis karya sastra memiliki kesamaan.
Unsur intrinsik sebuah puisi terdiri dari tema, amanat, sikap atau nada, perasaan, tipografi, enjambemen, akulirik, rima, citraan, dan gaya bahasa. Unsur ekstrinsik yang banyak mempengaruhi puisi antara lain: unsur biografi, unsur kesejarahan, serta unsure kemasyarakatan.
Kegiatan Belajar 2
Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik Prosa
Unsur pembangun prosa terdiri dari struktur dalam atau unsur intrinsik serta struktur luar atau unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik prosa terdiri dari tema dan amanat, alur, tokoh, latar, sudut pandang, serta bahasa yang dipergunakan pengarang untuk mengekspresikan gagasannya.
Tema prosa fiksi terutama novel dapat terdiri dari tema utama serta beberapa tema bawahan. Pada cerpen yang memiliki pengisahan lebih singkat, biasanya hanya
terdapat tema utama. Alur merupakan struktur penceritaan yang dapat bergerak maju (alur maju), mundur (alur mundur), atau gabungan dari kedua alur tersebut (alur campuran). Pergerakan alur dijalankan oleh tokoh cerita. Tokoh yang menjadi pusat cerita dinamakan tokoh sentral. Tokoh adalah pelaku di dalam cerita. Berdasarkan peran tokoh dapat dibagi menjadi tokoh utama, tokoh bawahan, dan tokoh tambahan. Tokoh tercipta berkat adanya penokohan, yaitu cara kerja pengarang untuk menampilkan tokoh cerita.
Penokohan dapat dilakukan menggunakan metode (a) analitik, (b) dramatik, dan (c) kontekstual.
Tokoh cerita akan menjadi hidup jika ia memiliki watak seperti layaknya manusia. Watak tokoh terdiri dari sifat, sikap, serta kepribadian tokoh. Cara kerja pengarang memberi watak pada tokoh cerita dinamakan penokohan, yang dapat dilakukan melalui dimensi (a) fisik, (b) psikis, dan (c) sosial.
Latar berkaitan erat dengan tokoh dan alur. Latar adalah seluruh keterangan mengenai tempat, waktu, serta suasana yang ada dalam cerita. Latar tempat terdiri dari tempat yang dikenal, tempat tidak dikenal, serta tempat yang hanya ada dalam khayalan. Latar waktu ada yang menunjukkan waktu dengan jelas, namun ada pula yang tidak dapat diketahui secara pasti.
Cara kerja pengarang untuk membangun cerita bukan hanya melalui penokohan dan perwatakan, dapat pula melalui sudut pandang. Sudut pandang adalah cara pengarang untuk menetapkan siapa yang akan mengisahkan ceritanya, yang dapat dipilih dari tokoh atau dari narator. Sudut pandang melalui tokoh cerita terdiri dari (a) sudut pandang akuan, (b) sudut pandang diaan, (c) sudut pandang campuran. Dalam menuangkan cerita menggunakan medium bahasa, pengarang bebas menentukan akan menggunakan bahasa nasional, bahasa daerah, dialek, ataupun bahasa asing.
Kegiatan Belajar 3
Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik Drama
Karya sastra drama memiliki unsur intrinsik serta unsur ekstrinsik yang diperlukan untuk membangun ceritanya. Unsur intrinsik drama terdiri dari tema, plot, tokoh, dialog, karakter, serta latar.
Drama yang merupakan ciptaan kreatif pengarang harus memiliki tema yang kuat, agar tercipta sebuah cerita yang tak lekang oleh waktu. Tanpa adanya konflik, cerita drama akan terasa datar. Konflik terdapat di dalam plot, yang terjadi karena adanya ketegangan antartokoh.
Tokoh drama terbagi menurut peran dan fungsinya dalam lakon. Menurut perannya tokoh terdiri dari tokoh utama, tokoh bawahan, serta tokoh tambahan. Di dalam drama fungsi tokoh sangat penting, yaitu sebagai tokoh protagonis, tokoh antagonis, dan tokoh tritagonis.
Cakapan merupakan ciri utama drama yang mungkin berupa dialog namun dapat pula berbentuk monolog. Selain itu, ada pula karakter dan latar yang saling berhubungan erat. Latar dalam drama sangat mempengaruhi karakter tokoh.
DAFTAR PUSTAKA
Atmazaki. (1993). Analisis Sajak: Teori, Metodologi, dan Aplikasi. Bandung: Angkasa.
Bachri, Sutardji Calzoum. (1981). O, Amuk, Kapak. Jakarta: Sinar Harapan.
Damono, Sapardi Djoko. (1994). Hujan Bulan Juni. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.
Herfanda, Ahmadun Yosi. (1996). Sembahyang Rumputan. Yogyakarta: Bentang Budaya.
Jabbar, Hamid. (1998) . Super Hilang. Jakarta: Balai Pustaka.
Laurence, Perrine. (1973). Sound and Sense: An Introduction to Poetry. New York: Harcout Brace Javanovich.
Nurgiyantoro, Burhan. (2000). Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Rampan, Korrie Layun. (1985). Puisi Indonesia Hari Ini: Sebuah Kritik. Jakarta: Yayasan Arus.
Waluyo, Herman J. (1991). Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Yayasan Arus.
———–. (2001). Drama, Teori dan Pengajarannya. Yogyakarta: Hanindita Graha Widya.
Wellek, Rene dan Austrin Warren. (1990). Teori Kesusastraan. Melani Budianta (Terj.) Jakarta: Gramedia.
MODUL 5: PUISI

Kegiatan Belajar 1
Pengertian dan Ciri-ciri Puisi
Puisi ialah perasaan penyair yang diungkapkan dalam pilihan kata yang cermat, serta mengandung rima dan irama. Ciri-ciri puisi dapat dilihat dari bahasa yang dipergunakan serta dari wujud puisi tersebut. Bahasa puisi mengandung rima, irama, dan kiasan, sedangkan wujud puisi terdiri dari bentuknya yang berbait, letak yang tertata ke bawah, dan tidak mementingkan ejaan. Untuk memahami puisi dapat juga dilakukan dengan membedakannya dari bentuk prosa.
Kegiatan Belajar 2
Jenis-jenis Puisi
Berdasarkan waktu kemunculannya puisi dapat dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu puisi lama, puisi baru, dan puisi modern.
Puisi lama adalah puisi yang lahir sebelum masa penjajahan Belanda, sehingga belum tampak adanya pengaruh dari kebudayaan barat. Sifat masyarakat lama yang statis dan objektif, melahirkan bentuk puisi yang statis pula, yaitu sangat terikat pada aturan tertentu. Puisi lama terdiri dari mantra, bidal, pantun dan karmina, talibun, seloka, gurindam, dan syair.
Puisi baru adalah puisi yang muncul pada masa penjajahan Belanda, sehingga pada puisi baru tampak adanya pengaruh dari kebudayaan Eropa. Penetapan jenis puisi baru berdasarkan pada jumlah larik yang terdapat dalam setiap bait. Jenis puisi baru dibagi menjadi distichon, terzina, quatrain, quint, sextet, septima, stanza atau oktaf, serta soneta.
Puisi modern adalah puisi yang berkembang di Indonesia setelah masa penjajahan Belanda. Berdasarkan cara pengungkapannya, puisi modern dapat dibagi menjadi puisi epik, puisi lirik, dan puisi dramatik.
Kegiatan Belajar 3
Analisis Unsur-unsur Intrinsik Puisi
Untuk memahami makna sebuah puisi dapat dilakukan dengan menganalisis unsur-unsur intrinsiknya, misalnya dengan mengkaji gaya bahasa dan bentuk puisi. Gaya bahasa yang dipergunakan penyair mencakup (1) Gaya bunyi yang meliputi: asonansi, aliterasi, persajakan, efoni, dan kakofoni. (2) Gaya kata yang membahas tentang pengulangan kata dan diksi. (3) Gaya kalimat yang berisi gaya implisit dan gaya retorika. (4) Larik, dan (5) bahasa kiasan.
Memahami puisi melalui bentuknya dapat dilakukan dengan menelaah tipografi, tanda baca, serta enjambemen. Untuk mempermudah dan memperjelas penganalisisan puisi, di depan setiap larik berilah bernomor urut. Apabila puisi yang hendak dianalisis tersebut memiliki beberapa bait, dapat pula diberi bernomor pada setiap baitnya.
Kegiatan Belajar 4
Penafsiran Puisi

Agar dapat memahami isi puisi diawali dengan menelaah atau melakukan kajian terhadap gaya maupun bentuk puisi yang bersama-sama membentuk suatu keutuhan isi puisi.
Perhatikan jika terdapat hal-hal yang menarik perhatian, misalnya judul serta kekerapan kata. Banyaknya kata yang berulang dapat menggiring pembaca dalam memahami tema. Jika terdapat bait yang mengandung sedikit lirik, biasanya di sanalah tertuang tema puisi. Seperti halnya pada judul yang juga dapat membayangkan tema. Tetapi ingat, judul belum tentu sama dengan tema.
Mengetahui tema serta akulirik merupakan langkah pertama yang harus dilakukan dalam upaya memahami puisi.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Chairil. (2000). Derai-derai Cemara. Jakarta: Yayasan Indonesia.
Atmazaki. (1993). Analisis Sajak: Teori, Metodologi, dan Aplikasi. Bandung: Angkasa.
Bachri, Sutardji Calzoum. (1981). O, Amuk, Kapak. Jakarta: Sinar Harapan.
Hamzah, Amir. (1977). Buah Rindu. Jakarta: Dian Rakyat.
Ismail, Taufik. (1993). Tirani dan Benteng. Jakarta: Yayasan Ananda.
Pradopo, Rachmat Djoko. (1990). Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Situmorang, B. P. (1983). Puisi: Teori Apresiasi Bentuk dan Struktur. Ende-Flores: Nusa Indah.
Waluyo, Herman J. (1991). Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga.
MODUL 6: PROSA
Kegiatan Belajar 1
Pengertian dan Ciri Prosa Fiksi
Prosa fiksi sebagai cerita rekaan bukan berarti prosa fiksi adalah lamunan kosong seorang pengarang. Prosa fiksi adalah perpaduan atau kerja sama antara pikiran dan perasaan. Fiksi dapat dibedakan atas fiksi yang realitas dan fiksi yang aktualitas. Fiksi realitas mengatakan: “seandainya semua fakta, maka beginilah yang akan terjadi. Jadi, fiksi realitas adalah hal-hal yang dapat terjadi, tetapi belum tentu terjadi. Penulis fiksi membuat para tokoh imaginatif dalam karyanya itu menjadi hidup. Fiksi aktualitas
mengatakan “karena semua fakta maka beginilah yang akan terjadi”. Jadi, aktualitas artinya hal-hal yang benar-benar terjadi. Contoh: roman sejarah, kisah perjalanan, biografi, otobiografi.
Prosa selalu bersumber dari lingkungan kehidupan yang dialami, disaksikan, didengar, dan dibaca oleh pengarang. Adapun ciri-ciri prosa fiksi adalah bahasanya terurai, dapat memperluas pengetahuan dan menambah pengetahuan, terutama pengalaman imajinatif. Prosa fiksi dapat menyampaikan informasi mengenai suatu kejadian dalam kehidupan. Maknanya dapat berarti ambigu. Prosa fiksi melukiskan realita imajinatif karena imajinasi selalu terikat pada realitas, sedangkan realitas tak mungkin lepas dari imajinasi. Bahasanya lebih condong ke bahasa figuratif dengan menitikberatkan pada  penggunaan kata-kata konotatif. Selanjutnya prosa fiksi mengajak kita untuk berkontemplasi karena sastra menyodorkan interpretasi pribadi yang berhubungan dengan imajinasi.

Kegiatan Belajar 2
Jenis-jenis Prosa
Berdasarkan pembagian sejarah sastra Indonesia, dikenal 2 macam sastra, yaitu sastra klasik dan sastra modern.
Sastra modern termasuk di dalamnya prosa baru yang mencakup roman, novel, novel populer, cerpen. Selanjutnya sastra klasik termasuk di dalamnya yaitu prosa lama yang mencakup cerita rakyat, dongeng, fabel, epos, legenda, mite, cerita jenaka, cerita pelipur lara, sage, hikayat, dan silsilah.
Roman adalah salah satu jenis karya sastra ragam prosa. Pengertian roman pada mulanya ialah cerita yang ditulis dalam bahasa Romana. Dalam perkembangannya kemudian, roman berupa cerita yang mengisahkan peristiwa/pengalaman lahir/batin sejumlah tokoh pada satu masa tertentu. Hal ini terjadi pada akhir abad ke-17.
Perkembangan roman mencapai puncaknya pada abad ke-18. Pada abad ke-19 muncullah penulis-penulis roman yang termasyhur, seperti Honore de Balzac, Gustave Flaubert, Emile Zola, Charles Dickens, Leo Tolstoy, F. Dostojevski. Penulis-penulis roman ini kemudian disusul oleh rekan-rekannya yang mewakili abad ke-20, seperti Proust, Joyce, Kafka, dan Faulkner.
Bentuk yang hampir sama dengan roman adalah novel. Bagi pembaca awam, kedua bentuk ini sulit dibedakan. Pada dasarnya novel maupun roman menceritakan hal luar biasa yang terjadi dalam kehidupan manusia sehingga jalan hidup tokoh cerita yang ditampilkan dapat berubah.
Novel dapat dibedakan menjadi novel kedaerahan, novel psikologi, novel sosial, novel gotik, dan novel sejarah, serta novel populer.
Cerita jenis lain yang memiliki ciri utama sepertri novel adalah cerpen. Bedanya dengan novel, cerpen penceritaannya lebih ringkas, masalahnya lebih padu dan plotnya tunggal dan terfokus ke akhir cerita. Sebuah cerita yang panjang yang berjumlah ratusan halaman, jelas tidak dapat disebut dengan cerpen.
Kegiatan Belajar 3
Unsur Intrinsik Prosa
Unsur intrinsik prosa terdiri atas alur, tema, tokoh dan penokohan, latar/setting, sudut pandang, gaya, pembayangan, dan amanat. Alur atau plot adalah struktur rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun sebagai sebuah interelasi fungsional yang sekaligus menandai urutan bagian-bagian dalam keseluruhan fiksi, bahwa pada umumnya alur cerita rekaan terdiri atas
1. alur buka, yaitu situasi terbentang sebagai suatu kondisi permulaan yang akan dilanjutkan dengan kondisi berikutnya;2. alur tengah, yaitu kondisi mulai bergerak ke arah kondisi yang memulai memuncak;3. Alur puncak, yaitu kondisi mencapai titik puncak sebagai klimaks peristiwa ; dan4. alur tutup Dengan kata lain, alur cerita meliputi paparan, konflik, klimaks dan penyelesaian.
Kedelapan unsur tersebut saling mengisi dalam sebuah prosa. Tema, misalnya menjadi sentral yang mengilhami cerita. Begitu juga dengan penokohan yang meramu watak tokohnya menjadi penyampai pesan yang diinginkan pengarang, baik yang jahat maupun yang baik. Agar penokohan ini tampak lebih hidup, ditopang dengan latar/setting cerita, gaya, pembayangan dan amanat.

Kegiatan Belajar 4
Unsur Ekstrinsik dan Tingkat Penilaian karya Sastra
Unsur ekstrinsik prosa fiksi adalah segala faktor luar yang melatarbelakangi penciptaan karya sastra seperti nilai sosiologi, nilai kesejarahan, nilai moral, nilai psikologi. Ia merupakan nilai subjektif pengarang yang bisa berupa kondisi sosial,motivasi, tendensi yang mendorong dan mempengaruhi kepengarangan seseorang. Pada gilirannya unsure ekstrinsik yang sebenarnya ada di luar karya sastra itu, cukup membantu para penelaah sastra dalam memahami dan menikmati karya yang dihadapi. Pengalaman mendalam dan pengenalan unsur ekstrinsik tersebut memungkinkan seseorang penelaah mampu ,menginterpretasikan karya sastra dengan lebih tepat.
Unsur tingkat nilai penghayatan dalam prosa fiksi adalah neveau anorganik, neveau vegetatif, neveau animal, neveau humanis, dan neveau metafisika/ transendental.
DAFTAR PUSTAKA
Arya, Putu.(1983). Apresiasi Puisi dan Prosa. Ende Flores: Nusa Indah.
Effendi. S. (1982). Bimbingan Apresiasi Puisi. Jakarta: Tangga Mustika Alam.
Fananie, Zainuddin. (1982). Telaah Sastra. Surakarta: Muhammadiyah University Press.
Luxemburg, et.al. (1984). Pengantar Ilmu Sastra. Terjemahan Dick Hartoko. Jakarta: Gramedia.
Mido, Frans. (1984).Cerita Rekaan dan Seluk Beluknya. Ende-Flores: Nusa Indah .
Semi Atar M. (1992). Anatomi Sastra. Bandung: Rosda Karya.
Sudjiman, Panuti. (1992). Memahami Cerita Rekaan. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Suyitno. Sastra. (1992). Tata Nilai dan Eksegesis. Yogyakarta: Hanindita.
Tarigan Guntur H. (1985). Prinsip -prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa.
Tjahjono Libertus, T. (1988). Sastra Indonesia, Pengantar Teori dan Apresiasi. Ende Flores: Nusa Indah.
Waluyo, Herman . (1984). Pengkajian Prosa Fiksi. Surakarta: UNS.
Wellek & Warren A.(1993). Teori Kesusasteraan (Diindonesiakan Melami Budianta) Jakarta: Gramedia.
MODUL 7: SELUK-BELUK DRAMA
Kegiatan Belajar 1
Pengertian Drama Laku dalam Simulasi Realitas
Drama adalah laku yang meniru laku dalam kehidupan nyata untuk memberikan pengukuhan dan alternatif bagi kehidupan itu sendiri. Karena yang ditekankan adalah laku, maka kata-kata/dialog dalam drama harus dipahami sebagai bagian yang tak terpisahkan dari keseluruhan situasi interaksi atau komunikasi manusia yang melibatkan tidak hanya kata-kata/dialog itu sendiri, tetapi juga situasi yang melingkungi dialog, seperti siapa yang berdialog, kapan dan di mana dialog itu berlangsung, dan mengapa dialog itu diutarakan. Dengan demikian, dalam laku drama kita melihat kesatuan antara kata-kata, perbuatan, dan situasi. Sifat kemenyatuan ini sangat sesuai atau mirip dengan keadaan yang berlangsung dalam kehidupan komunikasi manusia yang nyata. Oleh karena itu, drama dapat berfungsi sebagai media simulasi realitas, yaitu media untuk menghaluskan dan mengembangkan diri manusia dan
kebudayaannya melalui penanaman nilai kultural/keagamaan, penyampaian pemikiran baru, dan penyampaian kritik sosial.
Kegiatan Belajar 2
Struktur Drama
Sebagai naskah yang utuh, drama dibangun oleh beberapa unsur yang saling berkaitan, yaitu dialog, petunjuk pemanggungan, plot, dan karakter. Dialog merupakan ucapan tokoh tertentu yang kemudian disusul oleh ucapan tokoh yang lain. Melalui pergiliran ucapan tokoh-tokoh itulah segala informasi diutarakan perlahan-lahan dari awal sampai akhir drama. Karena itulah kedudukan dialog sangat penting dan utama di dalam drama. Selain itu, informasi juga diberikan melalui petunjuk pemanggungan.
Petunjuk pemanggungan adalah teks sampingan yang berfungsi untuk memberikan petunjuk tentang berbagai aspek pemang-gungan, yakni aspek karakter, penuturan, dan desain. Teks ini mungkin terdapat di dalam dialog (intradialog) dan mungkin pula terdapat di luar dialog (ekstradialog). Unsur drama berikutnya adalah plot, yaitu pola pengaturan kejadian dalam drama yang membuat kejadian-kejadian tersebut saling berhubungan secara logis, utuh, dan bermakna. Kejadian-kejadian dalam drama tentu
saja muncul karena adanya tindakan tokoh/karakter dramatik dengan segala aspek psikis, moral, sosial, dan ciri fisiknya.
Kegiatan Belajar 3
Jenis Drama
Pada umumnya, drama dikelompokkan dalam dua jenis, yaitu tragedi dan komedi. Pengelompokan ini didasarkan pada cara pandang filosofis drama tersebut terhadap hakikat hidup manusia. Pandangan hidup yang khas dalam drama tragedi terletak pada penegasan bahwa manusia harus menerima suratan nasib yang tidak dapat dihindarkan. Namun, tragedi juga menggambarkan kenyataan bahwa meskipun kita harus menghadapi dan menerima suratan nasib, kita juga punya kebutuhan yang kuat untuk memberi makna pada nasib kita. Oleh karena itu, semangat drama tragedy tidaklah pasif, melainkan penuh dengan semangat perjuangan, yakni perjuangan untuk memberi makna pada nasib hidup manusia. Adapun komedi menggambarkan kenyataan bahwa seberapa kali pun kita jatuh atau gagal, kita akan dapat bangkit kembali dan meneruskan kehidupan. Komedi memperlihatkan kehendak hidup yang tak terpadamkan. Inilah semangat yang menggerakkan tokoh-tokohnya, yakni semangat untuk merayakan kegembiraan hidup. Kegembiraan hidup itu ditunjukkan dengan cara menyimpangkan keseriusan dan kesakitan (penderitaan) sedemikian rupa sehingga dapat menimbulkan kelucuan.

Kegiatan Belajar 4
Pementasan Drama
Naskah drama dibuat bukan semata-mata untuk dibaca, tetapi lebih dimaksudkan untuk dipentaskan. Untuk mewujudkan naskah drama menjadi sebuah pementasan, diperlukan banyak pihak yang harus bekerja sama secara kompak. Pihak-pihak tersebut adalah produser, sutradara, aktor/aktris, dan desainer. Berbagai pihak ini kemudian mengubah atau mengonkretkan naskah menjadi konsep produksi, yakni suatu rumusan konseptual atau ide dasar yang menyatukan berbagai aspek pementasan yang berbeda sehingga dapat terbentuk suatu sudut pandang pemaknaan bersama terhadap produksi pementasan. Rumusan ini bersifat general, konkret, dan inspiratif. Dengan panduan konsep produksi itulah berbagai pihak tersebut saling memberikan kontribusi demi terciptanya pementasan yang berhasil.
DAFTAR PUSTAKA
Awuy, Tommy. (1992). Teater Indonesia: Konsep, Sejarah, dan Problema. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta.
Corrigan, Robert W. (1979). The World of Theatre. Glenview: Scott, Foresman and Co.
Dahana, Radhar Panca. (2000). Homo Theatricus. Magelang: Yayasan Indonesia Tera.
Esslin, Martin. (1979). An Anatomy of Drama. New York: Hill and Wang.
Soemanto, Bakdi. (2001). Jagat Teater. Yogyakarta: Media Pressindo.
Sugiyati, dkk. (1993). Teater untuk Dilakoni. Bandung: Studiklub Teater Bandung.
Sumardjo, Jakob. (1992). Perkembangan Teater Modern dan Sastra Drama Indonesia.
Bandung: Citra Aditya Bakti.
MODUL 8: TEORI-TEORI SASTRA
Kegiatan Belajar 1
Teori Psikoanalisis Sastra
Teori sastra psikoanalisis menganggap bahwa karya sastra sebagai symptom (gejala) dari pengarangnya. Dalam pasien histeria gejalanya muncul dalam bentuk gangguangangguan fisik, sedangkan dalam diri sastrawan gejalanya muncul dalam bentuk karya kreatif. Oleh karena itu, dengan anggapan semacam ini, tokoh-tokoh dalam sebuah novel, misalnya akan diperlakukan seperti manusia yang hidup di dalam lamunan si pengarang. Konflik-konflik kejiwaan yang dialami tokoh-tokoh itu dapat dipandang sebagai pencerminan atau representasi dari konflik kejiwaan pengarangnya sendiri.
Akan tetapi harus diingat, bahwa pencerminan ini berlangsung secara tanpa disadari oleh si pengarang novel itu sendiri dan sering kali dalam bentuk yang sudah terdistorsi, seperti halnya yang terjadi dengan mimpi. Dengan kata lain, ketaksadaran pengarang bekerja melalui aktivitas penciptaan novelnya. Jadi, karya sastra sebenarnya merupakan pemenuhan secara tersembunyi atas hasrat pengarangnya yang terkekang (terepresi) dalam ketaksadaran.
Kegiatan Belajar 2
Teori Sastra Struktural
Studi (kajian) sastra struktural tidak memperlakukan sebuah karya sastra tertentu sebagai objek kajiannya. Yang menjadi objek kajiannya adalah sistem sastra, yaitu seperangkat konvensi yang abstrak dan umum yang mengatur hubungan berbagai unsur dalam teks sastra sehingga unsur-unsur tersebut berkaitan satu sama lain dalam keseluruhan yang utuh. Meskipun konvensi yang membentuk sistem sastra itu bersifat sosial dan ada dalam kesadaran masyarakat tertentu, namun studi sastra structural beranggapan bahwa konvensi tersebut dapat dilacak dan dideskripsikan dari analisis struktur teks sastra itu sendiri secara otonom, terpisah dari pengarang ataupun realitas sosial. Analisis yang seksama dan menyeluruh terhadap relasi-relasi berbagai unsure yang membangun teks sastra dianggap akan menghasilkan suatu pengetahuan tentang sistem sastra.
Kegiatan Belajar 3
Teori Sastra Feminis
Teori sastra feminisme melihat karya sastra sebagai cerminan realitas sosial patriarki. Oleh karena itu, tujuan penerapan teori ini adalah untuk membongkar anggapan patriarkis yang tersembunyi melalui gambaran atau citra perempuan dalam karya sastra. Dengan demikian, pembaca atau peneliti akan membaca teks sastra dengan kesadaran bahwa dirinya adalah perempuan yang tertindas oleh sistem sosial patriarki sehingga dia akan jeli melihat bagaimana teks sastra yang dibacanya itu menyembunyikan dan memihak pandangan patriarkis. Di samping itu, studi sastra dengan pendekatan feminis tidak terbatas hanya pada upaya membongkar anggapan-anggapan patriarki yang terkandung dalam cara penggambaran perempuan melalui teks sastra, tetapi berkembang untuk mengkaji sastra perempuan secara khusus, yakni karya sastra yang dibuat oleh kaum perempuan, yang disebut pula dengan istilah ginokritik. Di sini yang diupayakan adalah penelitian tentang kekhasan karya sastra
yang dibuat kaum perempuan, baik gaya, tema, jenis, maupun struktur karya sastra kaum perempuan. Para sastrawan perempuan juga diteliti secara khusus, misalnya proses kreatifnya, biografinya, dan perkembangan profesi sastrawan perempuan.
Penelitian-penelitian semacam ini kemudian diarahkan untuk membangun suatu pengetahuan tentang sejarah sastra dan sistem sastra kaum perempuan.
Kegiatan Belajar 4
Teori Sastra Struktural
Teori resepsi pembaca berusaha mengkaji hubungan karya sastra dengan resepsi (penerimaan) pembaca. Dalam pandangan teori ini, makna sebuah karya sastra tidak dapat dipahami melalui teks sastra itu sendiri, melainkan hanya dapat dipahami dalam konteks pemberian makna yang dilakukan oleh pembaca. Dengan kata lain, makna karya sastra hanya dapat dipahami dengan melihat dampaknya terhadap pembaca.
Karya sastra sebagai dampak yang terjadi pada pembaca inilah yang terkandung dalam pengertian konkretisasi, yaitu pemaknaan yang diberikan oleh pembaca terhadap teks sastra dengan cara melengkapi teks itu dengan pikirannya sendiri. Tentu saja pembaca tidak dapat melakukan konkretisasi sebebas yang dia kira karena sebenarnya konkretisasi yang dia lakukan tetap berada dalam batas horizon harapannya, yaitu seperangkat anggapan bersama tentang sastra yang dimiliki oleh generasi pembaca tertentu.
Horizon harapan pembaca itu ditentukan oleh tiga hal, yaitu
1. kaidah-kaidah yang terkandung dalam teks-teks sastra itu sendiri,
2. pengetahuan dan pengalaman pembaca dengan berbagai teks sastra, dan
3. kemampuan pembaca menghubungkan karya sastra dengan kehidupan nyata.
Butir ketiga ini ditentukan pula oleh sifat indeterminasi teks sastra, yaitu kesenjangan yang dimiliki teks sastra terhadap kehidupan real.
Teori resepsi sastra beranggapan bahwa pemahaman kita tentang sastra akan lebih kaya jika kita meletakkan karya itu dalam konteks keragaman horizon harapan yang dibentuk dan dibentuk kembali dari zaman ke zaman oleh berbagai generasi pembaca.
Dengan begitu, dalam pemahaman kita terhadap suatu karya sastra terkandung dialog antara horizon harapan masa kini dan masa lalu. Jadi, ketika kita membaca suatu teks sastra, kita tidak hanya belajar tentang apa yang dikatakan teks itu, tetapi yang lebih penting kita juga belajar tentang apa yang kita pikirkan tentang diri kita sendiri, harapanharapan kita, dan bagaimana pikiran kita berbeda dengan pikiran generasi lain sebelum kita. Semua ini terkandung dalam horizon harapan kita.
DAFTAR PUSTAKA
Atmazaki. (1990). Ilmu Sastra: Teori dan Terapan. Bandung: Angkasa Raya.
Brill, A. A. (1955). Lectures on Psychoanalytic Psychiatry. New York: Vintage Books.
Brill, A. A. (1960). Basic Principles of Psychoanalysis. New York: Washington SquarePress.
Budianta, Melani dalam Kris Budiman. (2002). Analisis Wacana. Yogyakarta: Kanal.
Culler, Jonathan. (1975). Structuralist Poetics. London: Routledge & Kegan Paul.
Djajanegara, Soenarjati. (2000). Kritik Sastra Feminis. Jakarta: Gramedia.
Eneste, Pamusuk. (1983). Proses Kreatif: Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang. Jakarta: Gramedia.
Freud, Sigmund. (1938). Interpretation of Dreams dalam The Basic Writing of Sigmund
Freud. New York: Modern Library.
_____________. (2001). Tafsir Mimpi. Yogyakarta: Jendela.
Jabrohim. (2001). Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita Graha Widia.
Jefferson, Ann dan Robey, David. (1993). Modern Literary Theory: A Comparative
Introduction. London: B. T. Batsford Ltd.
Junus, Umar. (1985). Resepsi Sastra: Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia.
Milner, Max. (1992). Freud dan Interpretasi Sastra. Jakarta: Intermasa.
Pradopo, Rachmat Djoko. (1995). Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan
Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Propp, Vladimir. (1987). Morfologi Cerita Rakyat. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia.
Scholes, Robert. (1974). Structuralism in Literature. New Haven: Yale University Press.
Selden, Raman. (1991). Panduan Pembaca Teori Sastra Masa Kini. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Sugihastuti. (2000). Wanita di Mata Wanita. Bandung: Nuansa.
Suhandjati, Sri dan Sofwan, Ridin. (2001). Perempuan dan Seksualitas dalam Tradisi Jawa. Yogyakarta: Gama Media.
Teeuw, A. (1984). Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
____________. (1983). Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia.
Todorov, Zvetan. (1985). Tata Sastra. Jakarta: Djambatan.
MODUL 9: ALIRAN SASTRA

Kegiatan Belajar 1
Supernaturalisme dan Naturalisme serta Idealisme dan Materialisme
Istilah-istilah naturalis, materialis, dan idealis, adalah istilah-istilah yang digunakan di kalangan ilmu filsafat sebagai suatu paham, pandangan, atau falsafah hidup yang akhirnya di kalangan ilmu sastra merupakan aliran yang dianut seseorang dalam menghasilkan karyanya. Aliran dalam karya sastra biasanya terlihat pada periode tertentu. Setiap periode sastra biasanya ditandai oleh aliran yang dianut para pengarang pada masa itu. Bahkan unsur aliran yang menjadi mode pada periode tertentu merupakan ciri khas karya sastra yang berada pada masa tersebut.
Masalah aliran sebagai pokok pandangan hidup, berangkat dari paham yang dikemukakan para filosof dalam menghadapi kehidupan alam semesta ini. Tafsiran yang mula-mula diberikan oleh manusia terhadap alam ini ada dua macam, yaitu supernatural dan natural. Penganut paham-paham tersebut dinamakan supernaturalisme dan naturalisme. Paham supernatural mengemukakan bahwa di dalam alam ini terdapat wujud-wujud yang bersifat gaib yang bersifat lebih tinggi atau lebih kuasa daripada alam nyata yang mengatur kehidupan alam sehingga menjadi alam yang ditempati sekarang ini. Kepercayaan animisme dan dinamisme merupakan kepercayaan yang paling tua usianya dalam sejarah perkembangan kebudayaan manusia yang berpangkal pada paham supernaturalisme dan masih dianut oleh beberapa masyarakat di muka bumi ini.
Sebagai lawan dari paham supernatural adalah naturalisme yang menolak paham supernatural. Paham ini mengemukakan bahwa gejala-gejala alam yang terlihat ini terjadi karena kekuatan yang terdapat di dalam alam itu sendiri yang dapat dipelajari dan dengan demikian dapat diketahui. Paham ini juga mengemukakan bahwa dunia sama sekali bergantung pada materi, kebendaan, dan gerak. Kenyataan pokok dalam kehidupan dan akhir kehidupan adalah materi, atau kebendaan.
Pada bidang seni terdapat pula kedua aliran besar tersebut dengan karakteristik yang berbeda, yaitu aliran idealisme dan materialisme. Idealisme adalah aliran yang menilai tinggi angan-angan (idea) dan cita-cita (ideal) sebagai hasil perasaan daripada dunia nyata. Aliran ini pada awalnya dikemukakan oleh Socrates (469-399 sM.) yang dilanjutkan oleh muridnya yang bernama Plato (427-347 sM.). Dalam bidang seni rupa pelukis yang beraliran idealisme cenderung lebih suka mewujudkan benda-benda sebaik mungkin daripada apa adanya. Dalam ilmu kesusilaan idealisme mengandung pandangan hidup di mana rohani mewujudkan kekuatan yang berkuasa dan menjelaskan bahwa semua benda di dalam alam dan pengalaman adalah perwujudan pikiran, pandangan yang nyata.
Lawan aliran idealisme adalah aliran materialisme. Aliran ini mengemukakan bahwa dunia sama sekali bergantung pada materi dan gerak. Ajaran ini sudah dikemukakan oleh Democrates pada abad ke-4 sM, yang mengatakan bahwa semua kejadian yang gaib, dan ajaib di alam ini digerakkan oleh atom dan keluasan geraknya. Tidak ada kekuatan gaib yang bersifat supernatural yang mengatur kehidupan ini.
Di dalam bidang seni, seni rupa dan seni pahat, aliran materialisme atau naturalisme ini disebut juga dengan aliran realisme, yaitu bentuk lukisan yang diciptakan menurut keadaan alam yang sebenarnya yang berdasarkan atas faktor-faktor perspektif, proporsi, warna, sinar, dan bayangan. Sedangkan di dalam seni sastra aliran materialisme atau naturalisme ini merupakan kelanjutan dari aliran realisme.

Kegiatan Belajar 2
Idealisme dan Aliran Lainnya dalam Karya Sastra
Aliran-aliran yang terdapat di dalam karya sastra tidak dapat di- “cap”-kan sepenuhnya kepada seorang pengarang. Sutan Takdir Alisyahbana, misalnya dalam karyanya ia idealis tetapi juga romantis, sehingga ia juga dikenal sebagai seorang yang beraliran romantis-idealis.
Dalam aliran idealisme terdapat aliran romantisme, simbolisme, ekspresionisme, mistisisme, dan surealisme. Sedangkan yang termasuk ke dalam aliran materialism ialah aliran realisme, naturalisme, impresionisme, serta determinisme. Aliran lain yang berpandangan ke arah manusia sebagai pribadi yang unik dikenal sebagai aliran eksistensialisme.
Aliran idealisme adalah aliran di dalam filsafat yang mengemukakan bahwa dunia ide,dunia cita-cita, dunia harapan adalah dunia utama yang dituju dalam pemikiran manusia. Dalam dunia sastra, idealisme berarti aliran yang menggambarkan dunia yang dicita-citakan, dunia yang diangan-angankan, dan dunia harapan yang masih abstrak yang jauh jangka waktu pencapaiannya. Di dalamnya digambarkan keindahan hidup yang ideal, yang menyenangkan, penuh kedamaian, kebahagiaan, ketenteraman, adil makmur dan segala sesuatu yang menggambarkan dunia harapan yang sesuai dengan tuntutan batin yang menyenangkan yang tidak lagi adanya keganasan, kecemasan, kemiskinan, penindasan, ketidakadilan, keterbelakangan, yang menyusahkan dan menyengsarakan batin. Sastrawan Indonesia yang dikenal sebagai seorang yang idealis baik di dalam novel maupun puisinya ialah Sutan Takdir Alisyahbana.
Aliran romantisme ini menekankan kepada ungkapan perasaan sebagai dasar perwujudan pemikiran pengarang sehingga pembaca tersentuh emosinya setelah membaca ungkapan perasaannya. Untuk mewujudkan pemikirannya, pengarang menggunakan bentuk pengungkapan yang seindah-indahnya dan sesempurnasempurnanya.
Aliran romantisme biasanya dikaitkan dengan masalah cinta karena masalah cinta memang membangkitkan emosi. Tetapi anggapan demikian tidaklah selamanya benar.
Simbolisme adalah aliran kesusastraan yang penyajian tokoh-tokohnya bukan manusia melainkan binatang, atau benda-benda lainnya seperti tumbuh-tumbuhan yang disimbolkan sebagai perilaku manusia. Binatang-binatang atau tumbuh-tumbuhan diperlakukan sebagai manusia yang dapat bertindak, berbicara, berkomunikasi, berpikir, berpendapat sebagaimana halnya manusia. Kehadiran karya sastra yang beraliran simbolisme ini biasanya ditentukan oleh situasi yang tidak mendukung pencerita atau pengarang berbicara. Pada masyarakat lama, misalnya di mana kebebasan berbicara dibatasi oleh aturan etika moral yang mengikat kebersamaan dalam kelompok masyarakat, pandangan dan pendapat mereka disalurkan melalui bentuk-bentuk peribahasa atau fabel.
Aliran ekspresionisme adalah aliran dalam karya seni, yang mementingkan curahan batin atau curahan jiwa dan tidak mementingkan peristiwa-peristiwa atau kejadiankejadian yang nyata. Ekspresi batin yang keras dan meledak-ledak. biasa dianggap sebagai pernyataan atau sikap pengarang. Aliran ini mula-mula berkembang di Jerman sebelum Perang Dunia I, Pengarang Indonesia yang dianggap ekspresionis ialah Chairil Anwar.
Mistisisme adalah aliran dalam kesusastraan yang mengacu pada pemikiran mistik, yaitu pemikiran yang berdasarkan kepercayaan kepada Zat Tuhan Yang Maha Esa, yang meliputi segala hal di alam ini. Karya sastra yang beraliran mistisisme ini memperlihatkan karya yang mencari penyatuan diri dengan Zat Tuhan Yang Maha Esa, yaitu Tuhan Semesta Alam. Pada masa kesusastraan Klasik dikenal Raja Ali Haji dengan Gurindam Dua Belas-nya yang sarat dengan ajaran mistik. Pada karya-karya sastra sekarang ini yang memperlihatkan aliran mistik, misalnya Abdul Hadi W.M., Danarto, dan Rifai Ali.
Surealisme adalah aliran di dalam kesusastraan yang banyak melukiskan kehidupan dan pembicaraan alam bawah sadar, alam mimpi. Segala peristiwa yang dilukiskan terjadi dalam waktu yang bersamaan dan serentak. Aliran ini dipengaruhi oleh Sigmund Freud (1856-1939) ahli psikiatri Austria yang dikenal dengan psikoanalisisnya terhadap gejala histeria yang dialami manusia. Dia berpendapat bahwa gejala histeria traumatic yang dialami seseorang dapat disembuhkan melalui analisis kejiwaan yang dilakukan dengan kondisi kesadaran pasien, bukan dengan cara menghipnotis sebagaimana yang dilakukan oleh rekannya Breuer. Menurut Freud emosi yang terpendam itu bersifat seksual. Perbuatan manusia digerakkan oleh libido, nafsu seksual yang asli. Dengan menggali bawah sadar manusia, ia akan dapat dikembalikan kepada kondisinya semula.
Kegiatan Belajar 3
Realisme dan Aliran Lainnya dalam Karya Sastra
Realisme adalah aliran dalam karya sastra yang berusaha melukiskan suatu objek seperti apa adanya Pengarang berperan secara objektif. Dalam keobjektifanlah ia melihat keindahan objek yang dibidiknya dan dihasilkan di dalam karya sastra.
Pengarang tidak memasukkan ide, pikiran, tanggapan dalam menghadapi objeknya. Gustaf Flaubert seorang pengarang realisme Perancis mengemukakan bahwa objektivitas pengarang sangat diperlukan dalam menghasilkan karyanya. Objek yang dibidik pengarang sebagai objek ceritanya tidak hanya manusia dengan beragam karakternya, ia juga dapat berupa binatang, alam, tumbuh-tumbuhan, dan objek lainnya yang berkesan bagi pengarang sebagai sumber inspirasinya.
Impresionisme berarti aliran dalam bidang seni sastra, seni lukis, seni musik yang lebih mengutamakan kesan tentang suatu objek yang diamati dari pada wujud objek itu sendiri. Di bidang seni lukis, aliran ini bermula di Perancis pada akhir abad ke-l9.. Di dalam seni sastra aliran impresionisme tidak berbeda dengan aliran realisme, hanya pada impresionisme yang dipentingkan adalah kesan yang diperoleh tentang objek yang diamati penulis. Selanjutnya, kesan awal yang diperoleh pengarang diolah dan dideskripsikan menjadi visi pengarang yang sesuai dengan situasi dan kondisi tertentu.
Karya sastra yang beraliran impresionisme pada umumnya terdapat pada masa angkatan Pujangga Baru, masa Jepang, yang pada masa itu kebebasan berekspresi tentang cita-cita, harapan, ide belum dapat disalurkan secara terbuka. Semua idealism disalurkan melalui bentuk yang halus yang maknanya terselubung.
Pengarang Indonesia yang karyanya bersifat impresif antara lain ialah Sanusi Pane, dengan puisi-puisinya Candi, Teratai, Sungai, Abdul Hadi W.M., dan W.S Rendra. Aliran naturalisme adalah aliran yang mengemukakan bahwa fenomena alam yang nyata ini terjadi karena kekuatan alam itu sendiri yang berinteraksi sesamanya.
Kebenaran penciptaan alam ini bersumber pada kekuatan alam (natura). Di dalam seni lukis aliran naturalisme ini dimaksudkan sebagai karya seni yang menampilkan keadaan alam apa adanya, berdasarkan faktor perspektif, proporsi sinar, dan bayangan. Di dalam karya sastra aliran naturalisme adalah aliran yang juga menampilkan peristiwa sebagaimana adanya. Karena itu ia tidak jauh berbeda dengan realisme. Hanya saja, kalau realisme menampilkan objek apa adanya yang mengarah kepada kesan positif, kesan yang menyenangkan, sedangkan naturalisme sebaliknya.
Dalam kesusastraan Barat, yang dikenal sebagai tokoh naturalis ialah Emil Zola (1840-1902) pengarang Perancis. Dalam karyanya gambaran kemesuman, pornografi digambarkan apa adanya. Aliran seni untuk seni (l’art pour art’) melatarbelakangi pandangannya dalam berkarya. Di Indonesia pengarang yang karyanya cenderung beraliran naturalisme adalah Armijn Pane dengan novel Belenggu-nya, Motinggo Busye pada awal-awal novelnya tahun 60-an dan 70-an bahkan memperlihatkan novel yang dikategorikan pornografis. Novel Saman (l998) karya Ayu Utami juga memperlihatkan kecenderungan ke arah naturalis.
Determinisme ialah aliran dalam kesusastraan yang merupakan cabang dari naturalisme yang menekankan kepada takdir sebagai bagian dari kehidupan manusia yang ditentukan oleh unsur biologis dan lingkungan. Takdir yang dialami manusia bukanlah takdir yang ditentukan oleh yang Mahakuasa melainkan takdir yang datang menimpa nasib seseorang karena faktor keturunan dan faktor lingkungan yang mempengaruhinya.
Kegiatan Belajar 4
Eksistensialisme dalam Karya Sastra
Di samping aliran-aliran yang telah dibicarakan sebelumnya, terdapat pula aliran kesusastraan yang berkembang akhir-akhir ini, yaitu aliran eksistensialisme. Aliran ini adalah aliran di dalam filsafat yang muncul dari rasa ketidakpuasan terhadap dikotomi aliran idealisme dan aliran materialisme dalam memaknai kehidupan ini. Aliran idealisme yang hanya mementingkan ide sebagai sumber kebenaran kehidupan dan materialisme yang menganggap materi sebagai sumber kebenaran kehidupan, mengabaikan manusia sebagai makhluk hidup yang mempunyai keberadaan sendiri yang tidak sama dengan makhluk lainnya. Idealisme melihat manusia hanya sebagai subjek, hanya sebagai kesadaran, sedangkan materialisme melihat manusia hanya sebagai objek. Materialisme lupa bahwa sesuatu di dunia ini disebut objek karena adanya subjek. Eksistensialisme ingin mencari jalan ke luar dari kedua pemikiran yang dianggap ekstrem itu yang berpikiran bahwa manusia di samping ia sebagai subjek ia pun juga sekaligus sebagai objek dalam kehidupan ini (Ahmad Tafsir,1994 hal 193).
Kata eksistensi berasal dari kata exist, bahasa Latin yang diturunkan dari kata ex yang berarti ke luar dan sistere berarti berdiri. Jadi eksistensi berarti berdiri dengan ke luar dari diri sendiri. Pikiran seperti ini dalam bahasa Jerman dikenal dengan dasei. Dengan ia ke luar dari dirinya, manusia menyadari keberadaan dirinya, ia berada sebagai aku atau sebagai pribadi yang menghadapi dunia dan mengerti apa yang dihadapinya dan bagaimana menghadapinya. Dalam menyadari keberadaannya, manusia selalu memperbaiki, atau membangun dirinya, ia tidak pernah selesai dalam membangun dirinya.
Filsuf yang pertama mengemukakan eksistensi manusia ialah Soren Aabye Kierkegaard (1813-1855) dari Denmark, kemudian Jean Paul Satre (1905-1980) filsuf Perancis yang menyebabkan eksistensialisme menjadi terkenal. Menurut Satre karena manusia menyadari bahwa dia ada, yang berarti manusia menyadari pula bahwa ia menghadapi masa depan. Karenanya manusia sebagai individu mempunyai tanggung jawab terhadap masa depan dirinya sendiri dan tanggung jawab terhadap manusia secara keseluruhan. Akibatnya, orang eksistensialisme berpendapat bahwa salah satu watak keberadaan manusia adalah rasa takut yang datang dari kesadaran tentang wujudnya di dunia ini. Sebagai manusia yang mempunyai tanggung jawab terhadap dirinya sendiri dan terhadap manusia lainnya di dunia ini, mereka bebas menentukan, bebas memutuskan dan sendiri pula memikul akibat keputusannya tanpa ada orang lain atau sesuatu yang bersamanya. Dari konsepnya ini timbul pemikiran bahwa nasib manusia ditentukan oleh dirinya sendiri dengan tidak bantuan sedikit pun dari yang lain.
Akibatnya, manusia selalu hidup dalam rasa sunyi, cemas, putus asa, dan takut serta selalu dipenuhi bayangan harapan yang tak pernah terwujud dan berakhir.
Karena dasar eksistensialisme ini adalah ide tentang keberadaan manusia, maka aliran ini tidak mementingkan gaya bahasa yang khas yang mencerminkan aliran tertentu, melainkan menekankan kepada pandangan pengarang terhadap kehidupan dan keberadaan manusia. Dalam perkembangannya, aliran eksistensialisme berkembang menjadi dua jalur, yaitu eksistensialisme yang ateistis dan eksistensialisme yang theistis. Eksistensialisme yang ateistis dikembangkan oleh Jean Paul Sartre dan
eksistensialisme yang theistis dikembangkan oleh Gabriel Marcel. Dia menyatakan dengan tegas bahwa semua eksistensi adalah kenyataan karena adanya Tuhan.
Manusia tidak mungkin ada kalau tidak ada Tuhan yang menciptakannya, dan konkretisasi alam dunia ini merupakan bukti nyata dari keberadaan Tuhan Yang Maha Kuasa. Oleh karena itu, keberadaan manusia di alam ini harus kembali ke jalan Tuhan dan mewujudkan pujian kepada Tuhan. Di dalam kesusastraan Indonesia, eksistensialisme ini terlihat pada novel-novel karya Iwan Simatupang, seperti Ziarah, Merahnya Merah, dan Kering, Dalam karyanya, Iwan Simatupang memperlihatkan manusia sebagai tamu di dunia ini. Sebagai tamu, ia datang, dan pergi lagi. Manusia gelisah, tidak punya rumah, selalu berada dalam perjalanan dan berlangitkan relativisme-relativisme.
DAFTAR PUSTAKA
Fananie, Zainuddin. (2000). Telaah Sastra. Surakarta: Muhammadiyah University Press
Faulkner, Peter. (1991). Modernisme Seri Konsep Sastra. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Hasan, Fuad. (1992). Perkenalan dengan Eksistensialisme. Jakarta: Pustaka Jaya.
Pringgodigdo, A.G. (1977). Ensiklopedi Umum. Jakarta: Kanisius.
Rampan, Corrie Layun. (1966). Aliran dan Jenis Cerita Pendek. Flores: Nusa Indah. .(2000). Angkatan 2000 dalam Karya Sastra. Jakarta: Gramedia.
Utami, Ayu. (1998). Saman. Jakarta: Gramedia.
Simaatupang, Iwan. (1976). Ziarah. Jakarta: Jambatan.
Sugiarto, Bambang. (1999). Post Modernisme, Tantangan bagi Filsafat. Jakarta: Kanisius.
Suriasumantri, Yuyun. (1993). Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Tafsir, Ahmad. (1994). Filsafat Ilmu: Akal dan Hati Sejak Thales sampai James:
Pengantar kepada Filsafat. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Tuloli, Nani. (1999). Penyair dan Sajaknya 1920-1990. Gorontalo: BMT Nurul Jannah.
W.M., Abdulah Hadi (1992). Mereka Menunggu Ibunya. Jakarta: Balai Pustaka.